Pengikut

Rabu, 30 April 2008

KHUSYUK YANG TIADA LAGI

Banyak fenomena-fenomena merisaukan manusia di tengah-tengah kita. Misalnya hati keras, mata “kering” tidak bisa menangis, badan labil, dan tidak adanya perenungan ayat-ayat Allah Ta’ala, disebabkan gelombang materi (dunia) yang menyerbu hati kita dengan gencar. Walhasil, materi (dunia) ikut hadir bersama kita disetiap shalat kita, saat kita membaca Al-Qur’an, ketika sedikit di antara kita yang tidak banyak membaca Al-Qur’an. Kalaupun ia banyak membaca Al-Qur’an, hatinya tidak memahami apa yang ia baca. Qiyamul lail menjadi ibadah super berat bagi banyak jiwa sebagian orang. Kalaupun ia mengerjakan qiyamul lail, ia mengerjakannya dengan buru-buru dan gerak cepat seperti ayam mematuk makanan di tanah. Materi (dunia) itu kotoran yang merasuk ke hati kita dan hati tidak mungkin kembali ke kondisi ideal, kecuali dengan membersihkannya dari semua kotoran yang melekat padanya. Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Jika hati kalian bersih, kalian tidak merasa kenyang dengan firman Allah Ta’ala.
Seseorang tidak hanya perlu membersihkantubuhnya dengan air, namun juga harus membersihakan hatinya dari kotoran dunia, agar memperoleh khusyuk, yang sekarang tiada lagi.

Perbedaan antara Khusyuk Hakiki dengan Khusyuk Palsu
Menurut Ibnu Al-Qayyim Rahimahulla, khusyuk yang benar ialah kekhusyukan iman. Menurutnya, kekhusyukan iman ialah kekhusyukan (ketundukan) hati kepada Allah Ta’ala, dengan cara mengagungkan-Nya, takut, dan malu kepada-Nya. Lalu, hati pasrah kepada-Nya, dalam bentuk kepasrahan yang disertai perasaan takut, malu, mengakui nikmat-nikmat-Nya, dan kesalahan-kesalahan dirinya. Jika iti tercapai, hati pasti khusyuk (tunduk), lalu organ tubuh ikut khusyuk.”
Khusyuk ialah merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya saat Anda berdiri di depan-Nya. Juga mengajui seluruh nikmat-nikmat yang Dia berikan dan tidak dapat dihitung, karena saking banyaknya. Juga ingat kelalaian Anda mengelola sebarek nikmat ini. Sikap seperti ini membuat anda malu dan hati tinduk kepada-Nya secara perlahan. Hati berada di puncak ketundukan saat seseorang ingat maksiat-maksiat yang pernah ia lakukan, ingat kelalaian dirinya terhadap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Saat itu, hati menjadi khusyuk dan organ tubuh selalu sadar.
Sedang khusyuk palsu, maka itulah khusyuk kemunafikan menurut Ibnu al-Qayyim. Ia berkata, “Organ tubuh terlihat mengerjakan hal-hal yang dipaksakan dan hati tidak khusyuk. Salah seorang sahabat berkata, ‘aku berlindung kepada Allah dari Khusyuk kemunafikan.’ Ditanyakan kepada sahabat itu, ‘apa itu khusyuk kemunafikan?’ Sahabat itu menjawab, ‘Tubuh terlihat khusyuk, tapi hati tidak khusyuk’.”

Khusyuk Semu
Banyak orang menduga khusyuk itu menundukan kepala, atau jalan pelan-pelan, atau merendahkan suara. Mereka lupa kalau khusyuk itu di hati. Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu melihat seseorang membungkuk saat shalat, lalu Umar bin Khaththab berkata, “Pak angkat lehermu. Khusyuk itu bukan dileher, namun di hati.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu ahli ibadah sejati, seperti dikatakan Aisyah Radhiyallahu Anha ketika melihat sejumlah pemuda berjalan perlahan. Kata Aisyah kepada sahabat pemuda-pemuda itu, “Siapa pemuda-pemuda tersebut?” Sahabat pemuda itu menjawab, “Mereka orang-orang ahli ibadah.” Aisyah berkata, “jika Umar bin Khaththab berjalan maka cepat, jika berkata suaranya keras menggelegar, jika memukul maka menyakitkan, dan jika makan sampai kenyang. Ia ahli ibadah sejati.”
Kendati demikian, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu tidak membungkuk atau jalan perlahan. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Umar bin Khaththab membaca salah satu ayat, lalu tak sadarkan dirinya. Ia berada di rumahnya berhari-hari dan dikunjungi karena dikira sakit.”

Generasi Orang-Orang Khusyuk
Pascagenerasi sahabat, datanglah generasi anak-anak sahabat, tokoh mereka yang paling mencorong bintangnya ialah Ibnu Az-Zubair, Yahya bin Watsab berkata, “Ibnu Az-Zubair sujud dengan khusyuk, hingga sekawanan burung pipit hinggap di punggungnya. Burung-burung pipit itu mengiranya pondasi tembok.”
Ibnu Az-Zubair larut dalam sujud. Ia bermunajat ke pada Rabbnya, lupa apa saja yang ada di bumi, dan hatinya menyatu dengan penciptanya hingga seperti melihat-Nya. Betapa indah saat-saat ketika jiwa mampu mendaki ke tingkat seperti itu, lupa seluruh pesona dan daya tarik dunia. Generasi tabi’in belajar sujud dari anak-anak generasi sahabat. Masruq berkata kepada Said bin Jubair, “Hai Abu Said, tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajah kita ke tanah (sujud).”
Masruq tidak sedih gagal mendapatkan serpihan dunia hanya berduka ketika kehilangan waktu-waktu sujud, yang menerapkan waktu terdekat dengan Allah Ta’ala. Masruq berkata, “saya tidak sedih jika tidak memperoleh dunia dan hanya sedih saat kehilangan waktu sujud kepada Allah Ta’ala.”
Sepertinya, pasca indera orang-orang sehebat itu tidak berfungsi saat mereka berdiri di depan Allah Ta’ala. Tidak ada yang mereka lakukan, selain khusyuk di depan-nya. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq berkata di biografi Muhammad bin Nashir Al-Marwazi, “Aku pernah bertemu dua imam. Sayangnya, aku tidak dapat belajar hadits pada keduanya. Keduanya ialah Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Nashir Al-Maewazi, aku belum pernah menemukan orang yang shalatnya lebih baik dari shalatnya. Aku mendapat informasi bahwa kumbang menempel di keningnya, lalu darah mengucur ke wajahnya, tapi ia sama sekali tidak bergerak.”

Air Mata Mahal
Api maksiat yang masuk ke hati manusia merubah hati mereka menjadi arang hitam. Api maksiat hanya bisa dipadamkan dengan air mata yang mengalir deras sebab takut kelak dihisab pada Hari Kiamat dan perasaan semua perkataan dan perbuatan selalu diawasi Allah Ta’ala. Tentang air mata mahal ini, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Jika mata seseorang mengucurkan air mata karena takut Allah, maka Dia menharamkan neraka menyentuh tubuhnya. Jika air mata mengalir ke pipinya, maka wajahnya tidak hitam dan hina pada hari Kiamat. Tidak ada amal perbuatan yang berbobot berat dan diberi pahala, selain air mata memadamkan panasnya api neraka. Jika ada seseorang pada suatu umat menangis karena takut Allah, aku berharap umat itu secara keseluruhan dirahmati Allah gara-gara tangis satu orang tersebut.”
Api maksiat dan kelalaian telah merasuki hati kita, lalu membuat hati kita tidak mampu khusyuk. Maukah kita memadamkan api maksiat itu, dengan air mata mahal seperti di atas dan kita berbenah diri mulai sekarang juga?



Tidak ada komentar: