Pengikut

Senin, 07 April 2008

AKTIFIS ISLAM

AKTIVIS ISLAM ITU BUKAN AKTIVIS TEMPORER

Akhi, aktivis Islam, aktivitas Islam itu bukan aktivis yang bisa Anda kerjakan di sebagian waktu, lalu boleh Anda tinggalkan pada waktu lain. Sama sekali tidak. Aktivitas Islam dan masuknya Anda ke dalam Islam ini lebih dari itu. Islam bukan sembarang aktivis, seperti misalnya aktivitas budaya, atau olahraga, atau kepanduan, yang biasa Anda geluti saat kuliah, lalu Anda tinggalkan setelah lulus. Atau aktivitas yang Anda jalani ketika Anda membujang, lalu Anda tinggalkan setelah menikah. Atau aktivis yang Anda beri waktu sebelum Anda menduduki jabatan tertentu, lalu Anda tinggalkan jika Anda punya jabatan tertentu, atau sukses membuka klinik, atau apotek, atau kantor konsultan, atau sibuk studi S1 atau S2. Tidak. Aktivitas Islam sama sekali tidak seperti itu.
Aktivitas Islam dan masuknya Anda ke dalamnya adalah penyembahan Anda kepada Allah Ta’ala. Dan, orang Muslim tidak berhenti dari aktivitas Islam, karena merupakan tuntutan penyembahannya kepada Allah Ta’ala, hingga detik akhir kehidupannya. Akhi, apakah Anda tidak membaca firman Allah Ta’ala,

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” (Al-Hijr: 11).

Maksudnya, sembahlah Allah Ta’ala hingga kematian datang kepadamu. Al-Qur’an tidak mengatakan, “Sembahlah Allah hingga Anda lulus dari universitas, atau hingga Anda punya jabatan tertentu, atau hingga Anda menikah, atau hingga Anda sukses membuka klinik, atau kantor konsultan.”
Generasi salafush shalih memahami dengan baik ayat di atas. Kita lihat Ammar bin Yasir Radhiyallahu Anhu masih ikut berperang di jalan Allah Ta’ala, saat berusia sembilan puluh tahun. Saya katakan berperang, bukan sekedar berdakwah, atau mengajar, atau mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar. Di samping mengerjakan aktivitas itu semua, Ammar bin Yasir berperang di jalan Allah Ta’ala, saat ia berada di usia, di mana tulang-tulang sudah lemah, tubuh loyo, rambut beruban, dan kekuatan menurun.
Abu Sufyan bin Harb Radhiyallahu Anhu memotivasi tentara untuk berperang, padahal si berusia tujuh puluh tahun. Begitu juga Al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy. Keduanya berperang di Perang Uhud, kendati berusia lanjut dan diberi dispensi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau menempatkan keduanya di barisan belakang bersama kaum wanita. Kenapa kita pergi terlalu jauh? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakoni tujuh puluh empat tahun. Bahkan, beliau berumur enam puluh tahun saat hadir di Perang Tabuk, yang merupakan perang paling sulit bagi kaum Muslimin, dan memimpin kaum Muslimin di dalamnya.
Kenapa sekarang kita lihat banyak aktivis Islam tidak lagi menjadi aktivis Islam setelah lulus kuliah, atau menikah, atau sibuk bisnis, atau punya jabatan?
Mereka harus tahu bahwa permasalahan agama tidak main-main dan bisa disepelekan seperti itu. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kalian menganggapnya ringan saja. Padahal, dia pada sisi Allah itu besar.” (An-Nuur: 15).

Mana baiat (ikrar), yang dulu Anda berikan di depan Allah Ta’ala, bukan hanya di depan manusia? Allah Ta’ala berfirman,

“Dan perjanjian dengan Allah itu diminta pertanggung jawabnya.” (Al-Ahzab:15).

Mana slogan, yang dulu sering Anda gembor-gemborkan,

“Kami bangkit di jalan Allah
Kami ingin meninggikan panji
Kami beramal bukan untuk partai
Tapi, kami siap menjadi tumbal bagi agama ini
Silakan kejayaan agama muncul kembali lagi
Atau darah kami tumpah karenanya.”

Akibat melanggar janji itu amat berat. Terutama, bagi orang yang tadinya tahu kebenaran, lalu berpaling darinya dan orang yang telah merasakan manisnya iman lalu terjerumus ke dalam kebatilan. Melanggar janji dengan Allah Ta’ala itu dosa paling besar kepada-Nya dan kaum Mukminin. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka barangsiapa melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu menimpa dirinya sendiri.” (Al-Fath: 10)

Orang yang dirayu jiwanya yang menyuruh kepada keburukan dan digoda setan untuk ingkar janji harus merenungkan firman Allah Ta’ala,

“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, kami pasti bersedekah dan kami pasti termasuk orang-orang shalih.’ Maka setelah Allah memberi mereka sebagian karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). “ (At-Taubah: 75-76).

Ia juga harus merenungkan dengan baik hukuman adil, seperti disebutkan di ayat berikut,

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan di hati mereka sampai waktu mereka menemui Allah, karena mereka memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (At-Taubah: 77).

Aktivitas Islam itu agenda utama. Tragisnya, sebagian orang berhati sakit yang bergabung dengan ikhwah aktivis Islam di aktivitas Islam, di kampus, itu memandang aktivis Islam seperti proyek bisnis. Karenanya, proyek bisnis tersebut berakhir secara otomatis, bersamaan dengan selesainya waktu kuliah. Atau aktivitas Islam dianggap sebatas persahabatan di kampus, lalu bubar dengan berakhirnya masa studi.
Orang-orang seperti itu saya katakan orang-orang berhati sakit. Sebab, biasanya, penyakit muncul dari orang yang imannya lemah, hatinya sakit, tekadnya pas-pasan, dan makna iman tidak menancap kuat di hati. Umumnya, aib itu ada di hati, bukan di akal. Aib terjadi sebab iman tidak beres, bukan karena minimnya ilmu. Juga karena pengaruh syahwat, bukan karena ketidakjelaskan. Juga karena cinta dunia, bukan karena minimnya kesadaran. Siapa ingin melakukan terapi, ia harus pergi kepada orang-orang yang berhati bersih, guna menghilangkan kotorannya dan mengobati penyakitnya. Sayangnya, dokter itu tidak banyak pada zaman sekarang. Yang saya maksud dengan dokter di sini ialah dokter hati. Sedang dokter tubuh, maka segudang.
Sungguh, orang yang keluar dari kebenaran setelah mengetahuinya itu lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan mengorbankan kesedihan sepanjang tahun, menceburkan diri ke sumur maksiat, dan berpaling dari tujuan besar menuju tujuan picisan. Akibatnya, ia hidup di penjara setan, terombang-ambing di lembah kebingungan, dan terbelenggu di penjara hawa nafsu. Seorang penyair berkata,

“Ia menjadi seperti burung elang yang bulunya tercabut Ia merasa rugi setiap melihat burung lain terbang.”

Tidak ada komentar: