Pengikut

Minggu, 05 Desember 2010

PERBARUI IMAN ANDA

Akhi, aktivis Islam, perbarui iman Anda secara rutin. Rekonstruksi iman ini urgen bagi setiap orang Muslim secara umum dan aktivis Islam secara khusus. Sebab, kadang, karena sibuk mengerjakan tugas-tugas dakwah, atau mempelajari masalah-masalah dakwah, atau memikirkannya, atau mencurahkan segenap tenaga untuk aktivis Islam, atau aktivitas melawan musuh-musuh Islam dengan segala sarana yang disyariatkan Islam, itu membuat aktivis Islam tidak sempat mengurusi hatinya dan memberi perhatian penuh kepadanya. Padahal, orang Muslim berjalan kepada Allah Ta’ala dengan hatinya, bukan dengan orang tubuhnya. Kalaupun organ tubuh mengerjakan kebaikan, maka itu karena kebaikan hati dan semangatnya kepada kebaikan.
Jika aspek ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan serius, maka aktivis Islam kehilangan ibadah-ibadah batin, misalnya ikhlas. Bahkan, bisa jadi, aktivis Islam tidak punya keikhlasan sejak awal iltizamnya. Ibadah-ibadah batin lainnya, seperti jujur, yakin, zuhud, tawakkal, takut, taubat, menyerahkan diri, dan cinta Allah Ta’ala, juga hilang dari dirinya. Beberapa saat kemudian, sang aktivis ingin kondisi hatinya pulih seperti kondisi semula saat ia awal bergabung ke kafilah dakwah. Itu semua akibat ia tidak memperlihatkan hatinya. Jika itu terus terjadi, bisa jadi, Anda melihat sang aktivis banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna, misalnya makan secara berlebihan, atau berinteraksi dengan orang lain bukan karena pertimbangan agama, atau banyak tidur, atau bermalas-malasan, atau tidak berusaha mengatur waktunya, atau menghabiskan waktunya padahal-hal haram atau makruh. Kalaupun waktunya digunakan pada hal-hal mubah, maka itu secara berlebihan dan tanpa memperhatikan aspek agama atau dunia. Ia tidak menggubris perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk merekonstruksi iman, tanpa melihat kualitas iman, amal, dan posisinya di gerakan dakwah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Perbaruilah iman kalian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ahmad).

Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam sering bersumpah dengan kalimat,

“Tidak, demi Dzat yang membolak-balik hati.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Saya lihat ada kemerosotan pada sebagian aktivis dakwah, atau terjerumus ke dalam lautan syahwat dan syubhat. Kadang, hal ini betul-betul terjadi pada sebagian dari mereka. Penyebabnya tidak lain karena kurang memperhatikan aspek ini, memperbarui iman. Ini tanggung jawab bersama antara individu. Level qiyadah (pemimpin), dan gerakan dakwah secara umum.
Saya seringkali melihat beberapa aktivis mencapai jenjang tertentu di gerakan dakwah dan menghabiskan sebagian umurnya dengan manis bersama dakwah. Setelah itu, ia berbalik dan keluar dari barisan aktivis. Penyebabnya ialah karena ia tidak memperhatikan hatinya. Bagaimana ia berjalan, kehabisan bekal, dan tidak berbekal dengan bekal apa-apa lagi?
Bekal hatinya telah ia gunakan untuk mengarungi salah satu tahapan usianya dan habis di perjalanan. Akibatnya, ia tewas di tempat bahaya, yaitu kesesatan syubhat dan kehinaan syahwat. Beragam penyakit yang menyerang sebagian aktivis Islam di separoh perjalanan dakwah, misalnya cinta dunia, egois padahal dulunya itsar (lebih mementingkan orang lain atas kepentingan pribadi), rakus padahal sebelumnya zuhud dan wara’, bersikap kasar kepada kaum Mukminin padahal sebelumnya bersikap lembut kepada mereka, dekat dengan orang-orang dzalim padahal dulunya dekat dengan orang-orang beriman, ujub, sombong terhadap orang lain padahal sebelumnya rendah hati, congkak, dan menjadikan dirinya sosok penting padahal dulunya ikhlas; itu semua sebabnya karena hati tidak diberi porsi perhatian yang ideal dan iman tidak diperbarui individu, level qiyadah, dan gerakan dakwah itu sendiri. Semuanya bertanggung jawab dalam masalah ini.
Saya tertarik dengan penafsiran seorang syaikh tentang firman Allah Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136).

Di kajian, yang ia berikan kepada aktivis, saat didera cobaan, ia berkata, “Kok Al-Qur’an minta mereka beriman, padahal mereka sudah beriman? Bahkan, ayat berbunyi, ‘Hai orang-orang beriman, berimanlah.’ Apa makna iman yang dimintakan pada mereka?”
Syaikh itu berkata lagi, “Ayat di atas minta mereka selalu memperbaharui iman, karena iman perlu diperbaharui secara rutin.”


Minggu, 24 Oktober 2010

Menjaga Ukhuwah Tanpa Cacian Dan Ghibah

Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji bagi Allah Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini - dengan izin Allah - laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan himpunan segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim, khususnya bagi setiap dai. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap Muslim.

"Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal". [al-Baqarah/2:197].

Takwa merupakan sebab pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda, ilmu, isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan dunia dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَـلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah membuatkan baginya jalan keluar dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan, dan Allah akan menganugerahkan rezeki kepadanya dari arah yang tidak ia duga".[1]

Jadi, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allah bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam hati. Setiap Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri dengan takwa dalam semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah benteng bagi seorang Muslim dari segala perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah kita baca dalam Al-Qur`an surah al-Ahzâb:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar". [al-Ahzâb /33:70-71].

Seorang penuntut ilmu, jika ia pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta dapat memeganginya dengan teguh dalam semua sisi kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allah- ia akan dapat mewujudkan takwa ini pada diri orang lain.

Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia tekankan kepada orang lain.

Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah bahwasanya harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap kawan (shadîq), setiap muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam hidup. Apabila seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal-hal buruk ini pun akan berpengaruh pada dirinya. Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang akan ia jadikan kawan dekatnya.

Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Begitu juga Al-Qur`an pun memerintahkannya. (Allah berfirman:)

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah (bersaudara); karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu". [al-Hujurat/49:10].

Kata "ikhwah" (bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang mukmin itu ikhwah (bersaudara)", adalah kalimat yang tidak mudah. Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar mukmin) ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan ini bisa lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang mengikat persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki, ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang hakiki.

Sebab banyak orang mengikat persaudaraan dengan orang lain, atau berkawan dan bersahabat dengan orang lain disebabkan oleh kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika kepentinganya muncul. Namun, jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau bahkan mencaci-makinya.

Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh jujur terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak berbasa-basi. Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri sahabatku, maka aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan nasihat yang membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya tidak mau berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang sungguh-sungguh, nasihat yang ia butuhkan.

Jika aku lihat ia tidak taat kepada Allah, atau suka membicarakan ulama, atau suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan menggunakan istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah, sehingga kawan ini tidak rusak.

Ada kaidah agung yang termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allah, jika kaidah ini tidak terwujud pada diri kita masing-masing, niscaya kita akan memiliki cacat dalam menjalin tali ukuwah. Yaitu, jika seseorang tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang dirinya berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini merupakan salah satu kaidah di antara kaidah agama. Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya". [2]

Sayang sekali, kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika seseuatu itu ia peroleh, kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.

Sebenarnya kita memiliki suri tauladan yang baik pada para salafush-shalih rahimahullah, tentang bagaimana persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin persaudaraan, bagaimana mereka mengutamakan orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang pada setiap atsar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm telah memberikan contoh nyata dalam berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut semua urusan hidup.

Demi Allah, tidak ada sesuatu pun kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali menjadikan kita berada pada hujjah yang demikian jelas, malam harinya laksana siang harinya; tidak akan menyimpang dari hujjah ini kecuali orang yang binasa.

Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusannya, dalam masalah ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk, dalam masalah berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali telah mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum Muslimin meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allah, dan akan dikuasai oleh musuh.

Oleh sebab itu, saya anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya ada pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya berisi orang-orang yang senang jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini, hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat juga menjadi sempurna.

Demikian pula, saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga akan mewujudkan ukhuwah yang sesungguhnya. Jika Anda melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah, maka hendaklah Anda segera jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Anda harus akrabi dia.

Demi Allah, para penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak, kaum Muslimin tidak dilemahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan para musuh tidak dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin sudah terlalu jauh dari petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kalian semua mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu?

Pertama : Ikhlas. Yaitu jika amal perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah (keridhaan) Allah. Tetapi apakah ini cukup?
Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima?

Yaitu (yang Kedua, Pent.) apabila amal perbuatan yang sudah dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan mengikuti Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Namun bagaimanakah kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Allah melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum Muslimin.

Lihatlah bermacam bid’ah, khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan) merajalela. Bahkan banyak orang dibikin menjauh dari pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini keras, tidak umum, menentang arus … dan seterusnya”.

Ibnul-Qayyim rahimahullah mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan menghidupkannya (sekarang) lebih utama daripada mengarahkan anak-anak panah ke leher musuh.

Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim rahimahullah sampai mengatakan kalimat demikian!

Sekarang, orang-orang mulai bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan berbagai amal perbuatan yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang sekali, sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi terhadap seseorang.

Maka, demi Allah, wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, (di samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah amal itu selaras dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seseorang tidak dapat dipuji agama dan semua urusannya kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.

Karena itu, bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah untuk meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di antara sesama kalian. Kalian janganlah saling berseteru. Jika seorang penuntut ilmu melihat kesalahan pada diri saudaranya (sesama Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya dengan cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik. Sebab, inilah ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; kata-kata yang baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan agama yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.

Setiap kita mungkin memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting dalam kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan dengannya, kita bisa mendapat pahala.

Apa ruginya jika engkau tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang sahabat pernah mengatakan: "Saya tidak pernah melihat wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dalam keadaan tersenyum".

Tersenyum itu berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu, ada pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama penuntut ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan kotor. Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik dalam tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan terhadap Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, kalian harus melaksanakan Sunnah.

Sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini harus diperhatikan dan dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah manusia dengan persoalan-persoalan ini, tetapi (masing-masing penuntut ilmu harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat mengajarkan Sunnah kepada orang lain.

Jagalah ukhuwah yang hakiki oleh kalian. Ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip), namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita bohong. Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila mendengar fatwa tentang seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari kejelasan dan kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah seseorang berdosa bila ia menceitakan setiap apa yang ia dengar".[3]

Sebagian orang, setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini, begitu, melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat penuntut ilmu.

Pertama kali, kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap kawan-kawannya. Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka terhadap mereka. Tidak berburuk sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan tuduhan kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah, jangan langsung menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau menghendaki sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya untuk suatu urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa "orang ini serupa, sama-sama ahli bid’ah", maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui hatinya?

Seperti sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan La ilaha Illallah tatkala orang yang dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah?

Ia menjawab,"Sebab orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri," maka Nabi n menjawab: “Apakah engkau membelah dadanya?”.

Demkianlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tiba-tiba engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan semacam ini. Jelaslah, itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik, memberi nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak layak terlalu keras seraya mengatakan "sayalah satu-satunya pengikut Sunnah, orang lain bukan pengikut Sunnah".

Jadi, semestinya ia mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali beliau n telah mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk tata cara bergaul dengan orang lain dan melakukan pergaulan dengan orang kafir. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup kita.

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad, kapan kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang menjadi kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat di masjid. Melihat ini, ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah jelas berdasarkan bukti bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat adalah kufur. Tetapi, apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak, sebab siapa tahu ia shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia baru masuk Islam, atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah seperti ini.

Seorang penuntut ilmu harus menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah 'aqidah, membaca kitab-kitab 'aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui bahwa jalan pertama menuju surga ialah tauhid. Demi Allah, seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama 13 tahun mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar 'aqidah yang benar.

Ada sebagian orang dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman, ia tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut Murji`ah, ia tidak tahu. Ia tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir (hukum mengafirkan orang), ia tidak tahu. Tentang pedoman jihad, ia tidak tahu. Apa arti wala` wal-bara`, ia mengerti tidak tahu. Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham. Padahal ia berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali ilmu secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir.

Ada orang yang menghukumi kafir kepada setiap orang, terutama penguasa yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah. Ini tidak benar!

Saya termasuk salah satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir menyimpang, yang melakukan peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para penjahat yang menghabisi diri sendiri dan menghabisi orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup. Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat terhadap banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar ilmiah, kosong!.

Demi Allah, jika mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka memahami wala` wal-bara` dan bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang baik), tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan itu.

Saudaraku, andaikata penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau laksanakan. Apalagi jika penguasa itu seorang muslim.

Orang tidak bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar engkau bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang kafir, egkau akan dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan orang kafir tersebut.

Wahai saudaraku, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan makna muwalah kepada kita. Al-Qur`an juga telah menjelaskannya kepada kita. Sementara itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya- mempergauli orang Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.

Lalu bagaimanakah dengan kita (kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit diri kita sendiri dan mempersulit orang lain? Mengapa banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang menjadikan orang lain antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras yang tidak bedasarkan petunjuk dari Allah? Mengapa demikian? Terutama yang berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala` wal-bara`, mengapa tidak mengikuti manhaj Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?

Demikianlah untaian nasehat Syaikh 'Abdul-'Aziz -hafizhahullah- selanjutnya memberikan contoh tentang sikap para ulama yang lemah lembut dalam mempergauli orang lain, seperti Syaikh bin Baz rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah .

Begitu pula pada bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh 'Abdul-'Aziz -hafizhahullah- menekankan agar setiap penuntut ilmu bersungguh-sungguh mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam melalui bimbingan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah, seseorang akan dapat mengikuti Sunnah dan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara benar. Sehingga tidak akan melakukan penyimpangan-penyipangan, termasuk tindakan anarkhis dan merugikan orang lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk, bahkan di kalangan kaum Muslimin awam.

Demikianlah kandungan bagian akhir dari nasihat Syaikh 'Abdul-'Aziz -hafizhahullah- yang terpaksa kami ringkas, karena nasihat tersebut masih agak panjang. Semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin.
Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Abu Dawud no. 1297 (Hadits dha'îf. Dha'îf Sunan Abî Dawud 327, Dha'îf Sunan Ibni Mâjah no. 834)
[2]. Muttafaqun 'alaihi.
[3]. HR Muslim no. 6, Abu Dawud no. 4340

Rabu, 30 April 2008

KITA MENGINGINKAN TEKAD UNIVERSAL

Akhi, aktivitas Islam, tekad yang kita inginkan kepada Anda ialah tekad universal. Tekad mencari ilmu dan mengamalkannya. Tekad berdakwah dan berjihad. Tekad beriman, yakin, sabar, dan ridha. Tekad melakukan amar ma`ruf, nahi mungkar, dan menyatakan kebenaran. Tekad memperbaiki diri sendiri dan memberi petunjuk pada manusia.
Kita tidak menginginkan tekad parsial, yang terbatas pada satu aspek. Itu tidak kita inginkan. Kita menginginkan orang, yang tekadnya menyeluruh di semua medan dakwah Islam. Tidak hanya disatu aspek tanpa satu aspek lainnya, atau diaspek tertentu dengan mengorbankan aspek lainnya. Kita menginginkan tekad sempurna dan universal.
Dalam hal ini, saya tidak menemukan perkataan lebih bagus dari perkataan Ibnu Al-Qayyim di bukunya yang bermutu, Tahiruqi Al-Hijrahtain wa Babu As-Sa`adatain, “Di antara manusia ada orang yang berjalan menuju Allah di setiap tempat dan sampai pada-Nya dari semua jalan. Ia jadikan aktivitas ibadahnya sebagai poros hatinya dan fokus pengelihatannya. Ia cari aktivitas ibadah itu dimana saja berada dan berjalan bersamanya kemana saja aktivitas ibadah berjalan. Setiap kelompok diberi tanda khusus. Di mana saja ibadah berada, orang tersebut Anda lihat disitu. Jika ibadah berbentuk ilmu, Anda mendapatinya bersama orang-orang berilmu. Jika ibadah berbentuk jihad, Anda menemukannya bersama barisan mujahidin. Jika ibadah berbentuk shalat, Anda mendapatinya bersama orang-orang yang berbuat baik. Jika ibadah berbentuk cinta, perasan selalu diawasi Allah, dan taubat, maka Anda menemukannya bersama orang yang cinta kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Ia selalu bersama ibadah dimana saja ibadah hendak pergi dan berjalan kepadanya dimana saja ibadah berjalan. Jika ditanyakan kepadanya, ‘Amal perbuatan apa yang ada inginkan?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin melaksanakan perintah-perintah Tuhanku, apa pun bentuknya, dimana saja tempatnya, membawa apa saja, membuatku bersatu, atau membuatku tidak bersatu. Aku hanya ingin melaksanakannya, merasa selalu diawasi-Nya saat itu, terhadap kepada-Nya dengan ruh, hati, dan badan. Aku telah serahkan barang kepada-Nya dan sekarang aku menunggu pembayaran dari-Nya.’ Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberi ,mereka surga.”

KHUSYUK YANG TIADA LAGI

Banyak fenomena-fenomena merisaukan manusia di tengah-tengah kita. Misalnya hati keras, mata “kering” tidak bisa menangis, badan labil, dan tidak adanya perenungan ayat-ayat Allah Ta’ala, disebabkan gelombang materi (dunia) yang menyerbu hati kita dengan gencar. Walhasil, materi (dunia) ikut hadir bersama kita disetiap shalat kita, saat kita membaca Al-Qur’an, ketika sedikit di antara kita yang tidak banyak membaca Al-Qur’an. Kalaupun ia banyak membaca Al-Qur’an, hatinya tidak memahami apa yang ia baca. Qiyamul lail menjadi ibadah super berat bagi banyak jiwa sebagian orang. Kalaupun ia mengerjakan qiyamul lail, ia mengerjakannya dengan buru-buru dan gerak cepat seperti ayam mematuk makanan di tanah. Materi (dunia) itu kotoran yang merasuk ke hati kita dan hati tidak mungkin kembali ke kondisi ideal, kecuali dengan membersihkannya dari semua kotoran yang melekat padanya. Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Jika hati kalian bersih, kalian tidak merasa kenyang dengan firman Allah Ta’ala.
Seseorang tidak hanya perlu membersihkantubuhnya dengan air, namun juga harus membersihakan hatinya dari kotoran dunia, agar memperoleh khusyuk, yang sekarang tiada lagi.

Perbedaan antara Khusyuk Hakiki dengan Khusyuk Palsu
Menurut Ibnu Al-Qayyim Rahimahulla, khusyuk yang benar ialah kekhusyukan iman. Menurutnya, kekhusyukan iman ialah kekhusyukan (ketundukan) hati kepada Allah Ta’ala, dengan cara mengagungkan-Nya, takut, dan malu kepada-Nya. Lalu, hati pasrah kepada-Nya, dalam bentuk kepasrahan yang disertai perasaan takut, malu, mengakui nikmat-nikmat-Nya, dan kesalahan-kesalahan dirinya. Jika iti tercapai, hati pasti khusyuk (tunduk), lalu organ tubuh ikut khusyuk.”
Khusyuk ialah merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya saat Anda berdiri di depan-Nya. Juga mengajui seluruh nikmat-nikmat yang Dia berikan dan tidak dapat dihitung, karena saking banyaknya. Juga ingat kelalaian Anda mengelola sebarek nikmat ini. Sikap seperti ini membuat anda malu dan hati tinduk kepada-Nya secara perlahan. Hati berada di puncak ketundukan saat seseorang ingat maksiat-maksiat yang pernah ia lakukan, ingat kelalaian dirinya terhadap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Saat itu, hati menjadi khusyuk dan organ tubuh selalu sadar.
Sedang khusyuk palsu, maka itulah khusyuk kemunafikan menurut Ibnu al-Qayyim. Ia berkata, “Organ tubuh terlihat mengerjakan hal-hal yang dipaksakan dan hati tidak khusyuk. Salah seorang sahabat berkata, ‘aku berlindung kepada Allah dari Khusyuk kemunafikan.’ Ditanyakan kepada sahabat itu, ‘apa itu khusyuk kemunafikan?’ Sahabat itu menjawab, ‘Tubuh terlihat khusyuk, tapi hati tidak khusyuk’.”

Khusyuk Semu
Banyak orang menduga khusyuk itu menundukan kepala, atau jalan pelan-pelan, atau merendahkan suara. Mereka lupa kalau khusyuk itu di hati. Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu melihat seseorang membungkuk saat shalat, lalu Umar bin Khaththab berkata, “Pak angkat lehermu. Khusyuk itu bukan dileher, namun di hati.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu ahli ibadah sejati, seperti dikatakan Aisyah Radhiyallahu Anha ketika melihat sejumlah pemuda berjalan perlahan. Kata Aisyah kepada sahabat pemuda-pemuda itu, “Siapa pemuda-pemuda tersebut?” Sahabat pemuda itu menjawab, “Mereka orang-orang ahli ibadah.” Aisyah berkata, “jika Umar bin Khaththab berjalan maka cepat, jika berkata suaranya keras menggelegar, jika memukul maka menyakitkan, dan jika makan sampai kenyang. Ia ahli ibadah sejati.”
Kendati demikian, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu tidak membungkuk atau jalan perlahan. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Umar bin Khaththab membaca salah satu ayat, lalu tak sadarkan dirinya. Ia berada di rumahnya berhari-hari dan dikunjungi karena dikira sakit.”

Generasi Orang-Orang Khusyuk
Pascagenerasi sahabat, datanglah generasi anak-anak sahabat, tokoh mereka yang paling mencorong bintangnya ialah Ibnu Az-Zubair, Yahya bin Watsab berkata, “Ibnu Az-Zubair sujud dengan khusyuk, hingga sekawanan burung pipit hinggap di punggungnya. Burung-burung pipit itu mengiranya pondasi tembok.”
Ibnu Az-Zubair larut dalam sujud. Ia bermunajat ke pada Rabbnya, lupa apa saja yang ada di bumi, dan hatinya menyatu dengan penciptanya hingga seperti melihat-Nya. Betapa indah saat-saat ketika jiwa mampu mendaki ke tingkat seperti itu, lupa seluruh pesona dan daya tarik dunia. Generasi tabi’in belajar sujud dari anak-anak generasi sahabat. Masruq berkata kepada Said bin Jubair, “Hai Abu Said, tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajah kita ke tanah (sujud).”
Masruq tidak sedih gagal mendapatkan serpihan dunia hanya berduka ketika kehilangan waktu-waktu sujud, yang menerapkan waktu terdekat dengan Allah Ta’ala. Masruq berkata, “saya tidak sedih jika tidak memperoleh dunia dan hanya sedih saat kehilangan waktu sujud kepada Allah Ta’ala.”
Sepertinya, pasca indera orang-orang sehebat itu tidak berfungsi saat mereka berdiri di depan Allah Ta’ala. Tidak ada yang mereka lakukan, selain khusyuk di depan-nya. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq berkata di biografi Muhammad bin Nashir Al-Marwazi, “Aku pernah bertemu dua imam. Sayangnya, aku tidak dapat belajar hadits pada keduanya. Keduanya ialah Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Nashir Al-Maewazi, aku belum pernah menemukan orang yang shalatnya lebih baik dari shalatnya. Aku mendapat informasi bahwa kumbang menempel di keningnya, lalu darah mengucur ke wajahnya, tapi ia sama sekali tidak bergerak.”

Air Mata Mahal
Api maksiat yang masuk ke hati manusia merubah hati mereka menjadi arang hitam. Api maksiat hanya bisa dipadamkan dengan air mata yang mengalir deras sebab takut kelak dihisab pada Hari Kiamat dan perasaan semua perkataan dan perbuatan selalu diawasi Allah Ta’ala. Tentang air mata mahal ini, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Jika mata seseorang mengucurkan air mata karena takut Allah, maka Dia menharamkan neraka menyentuh tubuhnya. Jika air mata mengalir ke pipinya, maka wajahnya tidak hitam dan hina pada hari Kiamat. Tidak ada amal perbuatan yang berbobot berat dan diberi pahala, selain air mata memadamkan panasnya api neraka. Jika ada seseorang pada suatu umat menangis karena takut Allah, aku berharap umat itu secara keseluruhan dirahmati Allah gara-gara tangis satu orang tersebut.”
Api maksiat dan kelalaian telah merasuki hati kita, lalu membuat hati kita tidak mampu khusyuk. Maukah kita memadamkan api maksiat itu, dengan air mata mahal seperti di atas dan kita berbenah diri mulai sekarang juga?



INGATLAH PEMUTUS SEGALA KENIKMATAN

Jika seseorang rajin ingat pemutusan segala kenikmatan, yaitu kematian, ia menyatu dengan akhirat, lalu segera beramal sebelum kematian menjemputnya. Sarana efektif yang membantu orang untuk ingat kematian ialah kuburan, yang menasihati manusia tanpa bicara dan mengingatkan mereka tentang hari kembali yang tidak terelakkan. Lalu, hal itu mendorong mereka meningkatkan persiapan menghadapi hari Kiamat. Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kaum Muslim ingat kematian sebanyak mungkin. Beliau bersabda,

“Perbanyaklah ingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda di hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi,

“Tadinya, aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, Muhammad telah diberi izin menziarahi kuburan. Karena itu, ziarahi kuburan, karena mengingatkan kalian pada kematian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Obat Termujarab
Tentang hadits di atas, Al-Manawi berkata, “Obat paling mujarab bagi orang yang hatinya keras dan bergelimang dosa ialah kuburan jika ia mendapat manfaat dengan banyak ingat padanya. Jika tidak, maka dengan sering menyaksikan orang-orang yang hendak meninggal dunia, karena melihat suatu kejadiaan secara langsung berbeda dengan hanya mendengarnya dari orang lain.”
Abu Al-Itahiyah merasa perlu ziarah kubur, agar mendapatkan ibrah darinya. Ia berkata pada dirinya sendiri,

Diriku, ziarah kuburan dan ambillah ibrah darinya
Sebab, di dalamnya banyak sekali pelajaran bagi yang menziarahinya
Perhatikan, bagaimana kondisi orang-orang di dalamnya
Dulu mereka kuat, tapi sekarang semua mati di dalamnya
Dulu, mereka berambisi dan berharap, persis seperti dirimu

Setelah mengadakan muhasabah terhadap diri sendiri, Al-Itahiyah menziarahi kuburan untuk mendengar wejangan penasihat bungkam ini, yang tidak tahu menahu bahasa syair, tapi bahasa yang jauh lebih membekas dari seluruh syair. Abu Al-Itahiyah berkata,

“Aku menziarahi kuburan, yaitu kuburan raja di dunia dulu
Dan orang-orang yang hanyut dalam syahwat
Dulu, mereka budak makanan, minuman, pakaian parfum
Ternyata, kini mereka tak lain tubuh-tubuh telanjang tanpa busana
Dan wajah-wajah yang belepotan dengan tanah
Tanah pun berubah menjadi tengkorak putih dan tulang lapuk
Sepengetahuanku, kuburan itu pemandangan
Yang mehilangkan kesedihan dan mengalirkan air mata
Mahasuci Allah yang menundukan manusia dengan takdir-Nya
Mahasuci Pencipta udara dan penggerak seluruh gerakan.”

Dialog dengan Kuburan
Tanah yang diam seribu bahasa punya suara yang hanya didengar oleh orang yang ingat pemutus segala kenikmatan (kematian) ketika ia berada di depannya untuk merenungkannya. Berdialog dengan kematian itu kenikmatan yang hanya diperoleh orang-orang yang ingin menjadi “orang-orang akhirat” dan meniru Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang mencerai dunia dengan talak tiga.
Saya pikir, Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i salah seorang dari orang-orang yang berdialog dengan kuburan dan memahami bahasa tanah yang bungkam ini. Setelah memakamkan salah seorang kerabatnya, Musthafa Shadiq Ar-Rafi’I berdiri di depan kuburan kerabatnya itu, guna berdialog denganya dan mendengar jawabannya. Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Aku bertanya pada kuburan, mana harta dan perabotan? Mana kecantikan dan daya tarik? Mana kesehatan dan kegagahan? Mana sakit dan kelemahan? Mana kedigdayaan dan kesombongan? Mana kehinaan?”
Kata Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i lebih lanjut, “Itu semua tidak ada ke sini. Andai manusia mengambil ketenangan kuburan untuk dunia mereka, kedamainnya untuk selisihan mereka, dan keheningannya untuk kelelahan mereka, tentu mereka sanggup menundukkan kematian, seperti halnya merea menundukkan sistem alam raya.”
Sebelum Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i, Abu Al-Itahiyah berdiri di kuburan seseorang. Abu Al-Itahiyah ingat kemewahan yang dulu didewa-dewakan manusia, badan segar bugar yang membuat mereka makin tampan mempesona, dan parfum yang baunya menyengat ke mana-mana. Ia betanya kepada kuburan, apa yang terjadi pada mereka setelah itu? Lebih lengkapnya, ia berkata,

“Aku bertanya pada kuburan,
‘Apa yang engkau perbuat terhadap wajah-wajah
yang belepotan denganmu?’
Kuburan menjawab, ‘Bau mereka memuakkanmu,
Padahal, dulu mereka harum wangi
Aku makan tubuh yang segar bugar
Dulu, tubuh tersebut elok
Tidak ada yang aku sisakan
Kecuali tengkorak putih dan tulang-tulang lapuk.”


Tidak Ada yang Tersisa Kecuali Amal Perbuatan
Begitulah, segala sesuatu terhenti di kuburan, liang lahad. Tidak ada lagi senyum, canda tawa, perdebatan, dan teriakan. Tiada lagi pembangkangan dan arogansi. Tiada lagi harapan dan kerakusan. Tiada lagi keikhlasan dan riya’. Tiada lagi perasaan bangga dengan jabatan, kecantikan, ketampanan, sanak kerabat, status sosial tinggi, dan kecerdasan. Kedzaliman orang dzalim dan kehinaan orang hina pun tidak ada lagi. Wajah ayu dan tampan, tangan dzalim. Lidah bohong, mata yang berkhianat, dan hati yang keras; semuanya berubah menjadi tengkorak dan tulang-tulang lapuk serta menjadi barang mainan cacing dari semua arah. Tidak ada yang tersisa, kecuali amal perbuatan penghuni kuburan. Ia akan ditanya Munkar dan Nakir tentang amal perbuatannya. Tidak ada yang tersisa, kecuali pertanyaan kedua malaikat itu.
Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Ke mana saja orang pergi, ia pasti ditanya banyak hal. Siapa namamu? Apa pekerjaanmu? Berapa umurmu? Bagaimana kabarmu? Apa yang engkau miliki? Apa aliranmu? Apa agamamu? Bagaimana pendapatmu? Itu semua tidak berlaku dua kuburan, seperti halnya semua bahasa tidak berarti banyak bagi orang bisu. Di kuburan, lidah azali menanyakan satu hal kepada manusia, ‘Apa amal perbuatan Anda?’”
Di kuburan ada dua kemungkinan: amal perbuatan yang merubah kuburan menjadi taman surga atau amal perbuatan yang merubah Kuburan menjadi kubangan neraka.

INILAH DUNIA YANG KALIAN BURU

Di buku Az-Zuhdu, Imam Ahmad menyebutkan, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berjalan melewati tempat sampah, lalu berhenti di sana. Sepertinya, ia prihatin pada sahabat-sahabatnya dan mereka terganggu dengan bau tempat sampah itu. Umar bin Khaththab berkata kepada mereka, “Inilah dunia yang kalian buru.”
Seperti itulah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu men-tarbiyah para pengikutnya. Ia ingatkan mereka tentang hakikat dunia yang diperebutkan manusia. Dalam pandangan Umar bin Khaththab, dunia hanyalah tempat sampah, yang sarat dengan barang-barang bekas dan tidak ada satu pun yang layak pakai. Apa saja di tempat sampah berbau busuk dan tidak utuh lagi. Ada hewan-hewan kecil, makanan basi, perabotan terpotong-potong, “peninggalan” manusia dan hewan. Karena itu, dunia tidak layak diburu jika perumpamaannya seperti itu. apalagi, Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami pasti menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 6-7)

Orang-Orang yang Tidur dalam Keadaan Sujud
Pasca era Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, tibalah era salah seorang tokoh generasi tabi’in yang pernah hidup sezaman dengan Umar bin Khaththab dan terkesan dengan methode tarbiyahnya terhadap parapengikutnya. Tabi’in itu pindah ke Mesiruntuk menerapkan tarbiyah ala Umar bin Khaththab di sana. Salah seorang murid tabi’in itu, yang bernamaIbrahim bin Muhammad bin Al-Muntasyir, berkata, “Masruq mengendarai baghlah pada setiap pekan dan memboncengku dibelakangnya. Suatu hari, ia datang ke tempat sampah itu, lalu berkata, ‘Dunia ada di bawah kita’.”
Persepsi masruq seperti itu tentang dunia membuatnya khawatir waktunya hilang sia-sia di selain dzikir kepada Allah Ta’ala. Istrinya berkata, “Masruq shalat hingga kakinya bengkak. Terkadang, aku duduk menangis, sebab tidak tega melihat apa yang diperbuat Masruq terhadap dirinya.”
Sahabat Masruq sekaligus pakar tafsir, Said bin Jubair, ingat pertemuan hari jum’at dengannya. Kata Said bin Jubair, “Masruq berkata kepadaku, ‘Tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajah kita kita tanah (sujud). Aku tidak pernah sedih karena sesuatu melebihi kesedihanku sebab tidak sujud kepada Allah Ta’ala.
Apa yang mesti disenangi Masruq di dunia ini, wong ia menganggap dunia sebagai tempat sampai di bawah kaki baghlah-nya dan berpuasa di siang hari yang panas membakar hingga tak sadarkan diri? Suatu hari, putrinya, Aisyah, datang kepada Masruq dan berkata kepadanya, “Ayah, batalkan puasamu. Minumlah.” Masruq berkata, “Putriku, apa yang engkau inginkan padaku? Aku hanya menginginkan diriku dirahmati pada hari, di mana satu harinya sama dengan lima puluh ribu tahun.”
Masruq tidak kenal rasa panas, lapar, dan sakit ketika ingat panasnya Hari Kiamat, lapar dan kehausan saat itu. ia tahu hakikat dunia, lalu menghinanya dan tidak menjadi tawanannya. Adakah kelelhan yang melebihi kelelahan mengerjakan ibadah haji dan Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam sendiri mengkategorikan jihad tanpa kekuatan senjata? Kendati demikian, Masruq mengerjakan qiyamul lail tiap malam, hingga Abu Ishaq berkata, “Masruq melaksanakan ibadah haji dan tidak tidur melainkan dalam keadaan sujud. Itu ia kerjakan hingga pulang.”

Tidak Ada Istirahat kecuali di bawah Pohon Thuba
Siapa menginginkan akhirat dan berusaha keras untuk mendapatkannya, ia harus kelelahan. Sebab, dunia tidak diciptakan sebagai tempat istirahat dan tempat domisili. Para dai harus menyadari dunia itu medan ujian dan jembatan menuju akhirat. Karena itu, Ibnu Al-Qayyim berseru kepada orang-orang yang ingin istirahat di dunia dan menjadikan sikap menunda-nunda perbuatan sebagai jalan hidup mereka, hingga umur mereka habis tanpa mampu berbuat apa-apa, “Ahli ibadah tidak menemukan tempat istirahat, kecuali di bawah pohon Thubah. Pecinta Allah tidak dapat mendapatkan tempat domisili, kecuali di akhirat. Sibuklah anda untuk akhirat selama hidup di dunia, niscaya Anda terlindung setelah kematian.”
Itu peringatan bagi setiap dai yang mengklaim waktu miliknya dan ia dapat menggunakannya sekehendak hatinya. Tidak, justru waktu seperti pedang. Jika Anda tidak memotongnya, Anda dipotong pedang itu. di akhirat kelak, penghuni surga tidak menyesali sesuatu melebihi penyesalan mereka terhadap waktu yang hilang di dunia, tanpa amal shalih di dalamnya. dulu, ditanyakan kepada ahli ibadah, “Kenapa Anda melelahkan jiwa Anda?” Ahli ibadah menjawab, “Aku menginginkan istirahat bagi jiwaku.”


KIAT - KIAT MENGUATKAN KESADARAN

Perilaku Orang-Orang Lalai

Tentang kondisi orang-orang lalai, Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mereka tidak tahu kenapa mereka diciptakan dan apa yang dikehendaki pada mereka. Puncak keinginan mereka ialah meraih tujuan pribadi mereka. Ketika berhasil mendapatkannya, mereka tidak menggubris kecaman yang diarahkan kepada mereka. Mereka korbankan kehormatan demi mencapai tujuan pribadi dan lebih mengutamakan kenikmatan sesaat kendati menyengsarakan. Ketika berbisnis, mereka mengenakan baju penipu dengan gaya sombong, tidak jujur ketika berbisnis, dan menyembunyikan fakta.jika mereka mendapatkan uang, maka dengan syubat. Jika mereka makan, maka dengan syahwat tinggi. Mereka tidur pada malam hari, kendati sebenarnya mereka tidur di siang harinya. Tidur sejati tidak seperti itu. esok harinya, mereka berusaha meraih keinginan mereka dengan rakus seperti babi, atau anjing yang mengibaskan ekornya, tidak berkemanusiaan seperti singa, agresif seperti srigala, dan punya trik kotor seperti musang. Ketika meninggal dunia, mereka merintih karena tidak dapat melampiaskan hawa nafsu mereka, bukan karena tidak bertakwa. Itulah kadar ilmu mereka.”
Betapa indah deskripsi kondisi dan perilaku orang-orang lalai di atas. Mereka lengket dan menempel dengan lumpur rawa dunia, menolak naik ke tingkat mulia, lebih suka kegelapan, benci cahaya dan siap saja yang menunjukan mereka kepada cahaya. Jika seseorang meninggalkan sifat-sifat yang disebut ibnu Al-Jauzi di atas, ia orang sadar.
Ada beberapa kiat untuk menguatkan kesadaran bagi orang yang ingin sadar. Di antara kiat-kiat itu adalah sebagai berikut.

1. Taubat
Syarat taubat ada tiga: menyesal, tidak lagi mengerjakan maksiat, dan bertekad tidak akan kembali mengerjakan kemaksiatan. Ada syarat keempat terkait dengan hak-hak manusia, yaitu mengembalikan hak-hak itu kepada mereka. Syarat taubat paling penting ialah menyesal, yang membuat seseorang tidak ingin bermaksiat lagi dan bertekad tidak akan kembali kepada kemaksiatan. Imam Al-Jailani berkata muridnya, “Mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan kembalilah kepada-Nya dengan menyesal dan minta ampun, agar Dia membebeskanmu dari cengkraman musuh-musuhmu dan menyelamatakanmu dari gelombang laut kebinasaanmu. Coba pikirkan akibat perbuatan burukmu yang dapat engkau tinggalkan dengan mudah. Engkau berteduh di bawah pohon kelalaian. Keluarlah dari naungan pohon itu, sebab engkau telah melihat sinar matahari dan tahu jalan yang benar. Pohon kelalaian menjadi subur dan berkembang dengan air kebodohan. Sedang pohon kesadaran subur dan berkembang dengan air pemikiran (ilmu). Pohon taubat menjadi subur royo-royo dengan air penyesalandan pohon cinta bersemi dengan air muwafaqah (menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintainya, yaitu Allah Rasulu-Nya).”
Berjalan di atas jalan yang benar terasa amat mudah jika para pejalannya tahu kualitas air yang mengairi keempat jenis pohon di atas. Kelalaian hanya berkembang dengan ketidaktahuan terhadap hakikat jalan yang benar, rintangan-rintangannya, finis dan kehidupan sesudahnya. Kesadaran bersemi dengan selalu memikirkan semua itu. taubat tidak berkembang, akarnya tidak menguat, ranting-rantingnya tidak banyak, daun-daunnya tidak rimbun, dan bunga-bunganya tidak mekar, kecuali dengan sikap menyesali apa yang telah terjadi. Cinta tidak meningkat, kecuali dengan cara menyesuaikan perbuatan dengan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala dan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam.

2. Ingat Kematian
Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam bersabda,

“Perbanyaklah ingat pemutusan seluruh kenikmatan.”

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam mengumpamakan kematian dengan pemutus seluruh kenikmatan dan itu bukti kematian mampu megikis habis sikap lalai ketika berada di puncaknya. Lalu, orang lalai ingat “hakikat” yang suatu saat menjemputnya dan datang kepadanya secara tiba-tiba. Jika ia ingat mati secara intens, ia sadar dan berusaha segera beramal semaksiamal mungkin, agar wajahnya bersinar putih saat menghadap Allah Ta’ala.

3. Ingat Akibat Penundaan Siksa
Jika Allah Ta’ala menunda pengiriman siksa kepada hamba-hamba-Nya, maka itu tidak sama dengan penundaan siksa oleh manusia terhadap sesamanya. Di antara rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya ialah Dia memberi tempo waktu kepada mereka, menganugerahi kesempatan demi kesempatan kepada orang lalai agar “kembali”, dan membenamkannya ke dalam ujian dengan harapan ia bangkit. Jika seabrek kesempatan itu tidak banyak berguna baginya dalam hidupnya, maka Allah Ta’ala menyesatkannya dengan mengunci hatinya. Akibatnya, ia tidak dapat melihat, mendengar, dan memahami sesuatu. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah mengunci mati hati dan pendengar mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah: 7).

Karena akibat penundaan siksa teramat bahaya, Abu Al-Fadhl Jabrail bin Manshur berkata kepada orang lalai, “Sampai kapan Anda larut dalam kelalaian? Sepertinya, Anda menganggap remeh akibat penundaan siksa? Masa santai dan muda telah berlalu, sementara Anda tidak meraih keridhaan dai Tuhan Anda. Sekarang, yang tersisa adalah masa-masa hina dan malas, serta Anda tidak mendapatkan manfaat apa pun.”

4. Ingat Dosa-Dosa
Ingat dosa-dosa membuat orang memandang dosa itu buruk dan bersemangat tidak terjerumus ke dalamnya pada masa mendatang. Juga membuatnya selalu waspada dan tidak lalai. Di antara orang yang rajin ingat dosa-dosa ialah orang ahli ibadah dan orang zuhud, Kahmas bin Al-Hasan. Diriwayatkan dari Imarah bin Zadzan yang berkata, “Kahmas bin Al-Hasan berkata kepadaku, ‘Hai Abu Salamah, aku pernah mengerjakan satu dosa dan aku menangisinya selama empat puluh tahun.’ Aku berkata, ‘dosa apa itu, wahai Abu Abdullah?’ Kahma bin Al-Hasan menjawab, ‘suatu ketika, salah seorang saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan untuknya. Usai saudaraku makan ikan itu, aku pergi ke kebun salah seorang tetanggaku, lalu mengambil segenggam tanah. Saudaraku membersihkan tangannya dengan segenggam tanah itu. aku menangisi dosaku mengambil segenggam tanah tersebut selama empat puluh tahun’.”
Kahmas bin Al-Hasan mengambil segenggam tanah, tapi ia menangisinya selama empat puluh tahun. Bagaimana kalau ia masih hidup, lalu melihat orang “merampok’ harta sebesar Gunung Tihamah? Itulah bentuk sikap tidak lalai yang mereka upayakan, lalu Allah Ta’ala membantu mereka dalam meniti jalan yang benar.