Pengikut

Rabu, 30 April 2008

KIAT - KIAT MENGUATKAN KESADARAN

Perilaku Orang-Orang Lalai

Tentang kondisi orang-orang lalai, Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mereka tidak tahu kenapa mereka diciptakan dan apa yang dikehendaki pada mereka. Puncak keinginan mereka ialah meraih tujuan pribadi mereka. Ketika berhasil mendapatkannya, mereka tidak menggubris kecaman yang diarahkan kepada mereka. Mereka korbankan kehormatan demi mencapai tujuan pribadi dan lebih mengutamakan kenikmatan sesaat kendati menyengsarakan. Ketika berbisnis, mereka mengenakan baju penipu dengan gaya sombong, tidak jujur ketika berbisnis, dan menyembunyikan fakta.jika mereka mendapatkan uang, maka dengan syubat. Jika mereka makan, maka dengan syahwat tinggi. Mereka tidur pada malam hari, kendati sebenarnya mereka tidur di siang harinya. Tidur sejati tidak seperti itu. esok harinya, mereka berusaha meraih keinginan mereka dengan rakus seperti babi, atau anjing yang mengibaskan ekornya, tidak berkemanusiaan seperti singa, agresif seperti srigala, dan punya trik kotor seperti musang. Ketika meninggal dunia, mereka merintih karena tidak dapat melampiaskan hawa nafsu mereka, bukan karena tidak bertakwa. Itulah kadar ilmu mereka.”
Betapa indah deskripsi kondisi dan perilaku orang-orang lalai di atas. Mereka lengket dan menempel dengan lumpur rawa dunia, menolak naik ke tingkat mulia, lebih suka kegelapan, benci cahaya dan siap saja yang menunjukan mereka kepada cahaya. Jika seseorang meninggalkan sifat-sifat yang disebut ibnu Al-Jauzi di atas, ia orang sadar.
Ada beberapa kiat untuk menguatkan kesadaran bagi orang yang ingin sadar. Di antara kiat-kiat itu adalah sebagai berikut.

1. Taubat
Syarat taubat ada tiga: menyesal, tidak lagi mengerjakan maksiat, dan bertekad tidak akan kembali mengerjakan kemaksiatan. Ada syarat keempat terkait dengan hak-hak manusia, yaitu mengembalikan hak-hak itu kepada mereka. Syarat taubat paling penting ialah menyesal, yang membuat seseorang tidak ingin bermaksiat lagi dan bertekad tidak akan kembali kepada kemaksiatan. Imam Al-Jailani berkata muridnya, “Mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan kembalilah kepada-Nya dengan menyesal dan minta ampun, agar Dia membebeskanmu dari cengkraman musuh-musuhmu dan menyelamatakanmu dari gelombang laut kebinasaanmu. Coba pikirkan akibat perbuatan burukmu yang dapat engkau tinggalkan dengan mudah. Engkau berteduh di bawah pohon kelalaian. Keluarlah dari naungan pohon itu, sebab engkau telah melihat sinar matahari dan tahu jalan yang benar. Pohon kelalaian menjadi subur dan berkembang dengan air kebodohan. Sedang pohon kesadaran subur dan berkembang dengan air pemikiran (ilmu). Pohon taubat menjadi subur royo-royo dengan air penyesalandan pohon cinta bersemi dengan air muwafaqah (menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintainya, yaitu Allah Rasulu-Nya).”
Berjalan di atas jalan yang benar terasa amat mudah jika para pejalannya tahu kualitas air yang mengairi keempat jenis pohon di atas. Kelalaian hanya berkembang dengan ketidaktahuan terhadap hakikat jalan yang benar, rintangan-rintangannya, finis dan kehidupan sesudahnya. Kesadaran bersemi dengan selalu memikirkan semua itu. taubat tidak berkembang, akarnya tidak menguat, ranting-rantingnya tidak banyak, daun-daunnya tidak rimbun, dan bunga-bunganya tidak mekar, kecuali dengan sikap menyesali apa yang telah terjadi. Cinta tidak meningkat, kecuali dengan cara menyesuaikan perbuatan dengan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala dan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam.

2. Ingat Kematian
Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam bersabda,

“Perbanyaklah ingat pemutusan seluruh kenikmatan.”

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam mengumpamakan kematian dengan pemutus seluruh kenikmatan dan itu bukti kematian mampu megikis habis sikap lalai ketika berada di puncaknya. Lalu, orang lalai ingat “hakikat” yang suatu saat menjemputnya dan datang kepadanya secara tiba-tiba. Jika ia ingat mati secara intens, ia sadar dan berusaha segera beramal semaksiamal mungkin, agar wajahnya bersinar putih saat menghadap Allah Ta’ala.

3. Ingat Akibat Penundaan Siksa
Jika Allah Ta’ala menunda pengiriman siksa kepada hamba-hamba-Nya, maka itu tidak sama dengan penundaan siksa oleh manusia terhadap sesamanya. Di antara rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya ialah Dia memberi tempo waktu kepada mereka, menganugerahi kesempatan demi kesempatan kepada orang lalai agar “kembali”, dan membenamkannya ke dalam ujian dengan harapan ia bangkit. Jika seabrek kesempatan itu tidak banyak berguna baginya dalam hidupnya, maka Allah Ta’ala menyesatkannya dengan mengunci hatinya. Akibatnya, ia tidak dapat melihat, mendengar, dan memahami sesuatu. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah mengunci mati hati dan pendengar mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah: 7).

Karena akibat penundaan siksa teramat bahaya, Abu Al-Fadhl Jabrail bin Manshur berkata kepada orang lalai, “Sampai kapan Anda larut dalam kelalaian? Sepertinya, Anda menganggap remeh akibat penundaan siksa? Masa santai dan muda telah berlalu, sementara Anda tidak meraih keridhaan dai Tuhan Anda. Sekarang, yang tersisa adalah masa-masa hina dan malas, serta Anda tidak mendapatkan manfaat apa pun.”

4. Ingat Dosa-Dosa
Ingat dosa-dosa membuat orang memandang dosa itu buruk dan bersemangat tidak terjerumus ke dalamnya pada masa mendatang. Juga membuatnya selalu waspada dan tidak lalai. Di antara orang yang rajin ingat dosa-dosa ialah orang ahli ibadah dan orang zuhud, Kahmas bin Al-Hasan. Diriwayatkan dari Imarah bin Zadzan yang berkata, “Kahmas bin Al-Hasan berkata kepadaku, ‘Hai Abu Salamah, aku pernah mengerjakan satu dosa dan aku menangisinya selama empat puluh tahun.’ Aku berkata, ‘dosa apa itu, wahai Abu Abdullah?’ Kahma bin Al-Hasan menjawab, ‘suatu ketika, salah seorang saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan untuknya. Usai saudaraku makan ikan itu, aku pergi ke kebun salah seorang tetanggaku, lalu mengambil segenggam tanah. Saudaraku membersihkan tangannya dengan segenggam tanah itu. aku menangisi dosaku mengambil segenggam tanah tersebut selama empat puluh tahun’.”
Kahmas bin Al-Hasan mengambil segenggam tanah, tapi ia menangisinya selama empat puluh tahun. Bagaimana kalau ia masih hidup, lalu melihat orang “merampok’ harta sebesar Gunung Tihamah? Itulah bentuk sikap tidak lalai yang mereka upayakan, lalu Allah Ta’ala membantu mereka dalam meniti jalan yang benar.

Tidak ada komentar: