Pengikut

Rabu, 30 April 2008

KITA MENGINGINKAN TEKAD UNIVERSAL

Akhi, aktivitas Islam, tekad yang kita inginkan kepada Anda ialah tekad universal. Tekad mencari ilmu dan mengamalkannya. Tekad berdakwah dan berjihad. Tekad beriman, yakin, sabar, dan ridha. Tekad melakukan amar ma`ruf, nahi mungkar, dan menyatakan kebenaran. Tekad memperbaiki diri sendiri dan memberi petunjuk pada manusia.
Kita tidak menginginkan tekad parsial, yang terbatas pada satu aspek. Itu tidak kita inginkan. Kita menginginkan orang, yang tekadnya menyeluruh di semua medan dakwah Islam. Tidak hanya disatu aspek tanpa satu aspek lainnya, atau diaspek tertentu dengan mengorbankan aspek lainnya. Kita menginginkan tekad sempurna dan universal.
Dalam hal ini, saya tidak menemukan perkataan lebih bagus dari perkataan Ibnu Al-Qayyim di bukunya yang bermutu, Tahiruqi Al-Hijrahtain wa Babu As-Sa`adatain, “Di antara manusia ada orang yang berjalan menuju Allah di setiap tempat dan sampai pada-Nya dari semua jalan. Ia jadikan aktivitas ibadahnya sebagai poros hatinya dan fokus pengelihatannya. Ia cari aktivitas ibadah itu dimana saja berada dan berjalan bersamanya kemana saja aktivitas ibadah berjalan. Setiap kelompok diberi tanda khusus. Di mana saja ibadah berada, orang tersebut Anda lihat disitu. Jika ibadah berbentuk ilmu, Anda mendapatinya bersama orang-orang berilmu. Jika ibadah berbentuk jihad, Anda menemukannya bersama barisan mujahidin. Jika ibadah berbentuk shalat, Anda mendapatinya bersama orang-orang yang berbuat baik. Jika ibadah berbentuk cinta, perasan selalu diawasi Allah, dan taubat, maka Anda menemukannya bersama orang yang cinta kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya. Ia selalu bersama ibadah dimana saja ibadah hendak pergi dan berjalan kepadanya dimana saja ibadah berjalan. Jika ditanyakan kepadanya, ‘Amal perbuatan apa yang ada inginkan?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin melaksanakan perintah-perintah Tuhanku, apa pun bentuknya, dimana saja tempatnya, membawa apa saja, membuatku bersatu, atau membuatku tidak bersatu. Aku hanya ingin melaksanakannya, merasa selalu diawasi-Nya saat itu, terhadap kepada-Nya dengan ruh, hati, dan badan. Aku telah serahkan barang kepada-Nya dan sekarang aku menunggu pembayaran dari-Nya.’ Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin, diri dan harta mereka dengan memberi ,mereka surga.”

KHUSYUK YANG TIADA LAGI

Banyak fenomena-fenomena merisaukan manusia di tengah-tengah kita. Misalnya hati keras, mata “kering” tidak bisa menangis, badan labil, dan tidak adanya perenungan ayat-ayat Allah Ta’ala, disebabkan gelombang materi (dunia) yang menyerbu hati kita dengan gencar. Walhasil, materi (dunia) ikut hadir bersama kita disetiap shalat kita, saat kita membaca Al-Qur’an, ketika sedikit di antara kita yang tidak banyak membaca Al-Qur’an. Kalaupun ia banyak membaca Al-Qur’an, hatinya tidak memahami apa yang ia baca. Qiyamul lail menjadi ibadah super berat bagi banyak jiwa sebagian orang. Kalaupun ia mengerjakan qiyamul lail, ia mengerjakannya dengan buru-buru dan gerak cepat seperti ayam mematuk makanan di tanah. Materi (dunia) itu kotoran yang merasuk ke hati kita dan hati tidak mungkin kembali ke kondisi ideal, kecuali dengan membersihkannya dari semua kotoran yang melekat padanya. Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Jika hati kalian bersih, kalian tidak merasa kenyang dengan firman Allah Ta’ala.
Seseorang tidak hanya perlu membersihkantubuhnya dengan air, namun juga harus membersihakan hatinya dari kotoran dunia, agar memperoleh khusyuk, yang sekarang tiada lagi.

Perbedaan antara Khusyuk Hakiki dengan Khusyuk Palsu
Menurut Ibnu Al-Qayyim Rahimahulla, khusyuk yang benar ialah kekhusyukan iman. Menurutnya, kekhusyukan iman ialah kekhusyukan (ketundukan) hati kepada Allah Ta’ala, dengan cara mengagungkan-Nya, takut, dan malu kepada-Nya. Lalu, hati pasrah kepada-Nya, dalam bentuk kepasrahan yang disertai perasaan takut, malu, mengakui nikmat-nikmat-Nya, dan kesalahan-kesalahan dirinya. Jika iti tercapai, hati pasti khusyuk (tunduk), lalu organ tubuh ikut khusyuk.”
Khusyuk ialah merasakan keagungan Allah Ta’ala dan kekuasaan-Nya saat Anda berdiri di depan-Nya. Juga mengajui seluruh nikmat-nikmat yang Dia berikan dan tidak dapat dihitung, karena saking banyaknya. Juga ingat kelalaian Anda mengelola sebarek nikmat ini. Sikap seperti ini membuat anda malu dan hati tinduk kepada-Nya secara perlahan. Hati berada di puncak ketundukan saat seseorang ingat maksiat-maksiat yang pernah ia lakukan, ingat kelalaian dirinya terhadap rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepadanya. Saat itu, hati menjadi khusyuk dan organ tubuh selalu sadar.
Sedang khusyuk palsu, maka itulah khusyuk kemunafikan menurut Ibnu al-Qayyim. Ia berkata, “Organ tubuh terlihat mengerjakan hal-hal yang dipaksakan dan hati tidak khusyuk. Salah seorang sahabat berkata, ‘aku berlindung kepada Allah dari Khusyuk kemunafikan.’ Ditanyakan kepada sahabat itu, ‘apa itu khusyuk kemunafikan?’ Sahabat itu menjawab, ‘Tubuh terlihat khusyuk, tapi hati tidak khusyuk’.”

Khusyuk Semu
Banyak orang menduga khusyuk itu menundukan kepala, atau jalan pelan-pelan, atau merendahkan suara. Mereka lupa kalau khusyuk itu di hati. Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu melihat seseorang membungkuk saat shalat, lalu Umar bin Khaththab berkata, “Pak angkat lehermu. Khusyuk itu bukan dileher, namun di hati.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu ahli ibadah sejati, seperti dikatakan Aisyah Radhiyallahu Anha ketika melihat sejumlah pemuda berjalan perlahan. Kata Aisyah kepada sahabat pemuda-pemuda itu, “Siapa pemuda-pemuda tersebut?” Sahabat pemuda itu menjawab, “Mereka orang-orang ahli ibadah.” Aisyah berkata, “jika Umar bin Khaththab berjalan maka cepat, jika berkata suaranya keras menggelegar, jika memukul maka menyakitkan, dan jika makan sampai kenyang. Ia ahli ibadah sejati.”
Kendati demikian, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu tidak membungkuk atau jalan perlahan. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Umar bin Khaththab membaca salah satu ayat, lalu tak sadarkan dirinya. Ia berada di rumahnya berhari-hari dan dikunjungi karena dikira sakit.”

Generasi Orang-Orang Khusyuk
Pascagenerasi sahabat, datanglah generasi anak-anak sahabat, tokoh mereka yang paling mencorong bintangnya ialah Ibnu Az-Zubair, Yahya bin Watsab berkata, “Ibnu Az-Zubair sujud dengan khusyuk, hingga sekawanan burung pipit hinggap di punggungnya. Burung-burung pipit itu mengiranya pondasi tembok.”
Ibnu Az-Zubair larut dalam sujud. Ia bermunajat ke pada Rabbnya, lupa apa saja yang ada di bumi, dan hatinya menyatu dengan penciptanya hingga seperti melihat-Nya. Betapa indah saat-saat ketika jiwa mampu mendaki ke tingkat seperti itu, lupa seluruh pesona dan daya tarik dunia. Generasi tabi’in belajar sujud dari anak-anak generasi sahabat. Masruq berkata kepada Said bin Jubair, “Hai Abu Said, tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajah kita ke tanah (sujud).”
Masruq tidak sedih gagal mendapatkan serpihan dunia hanya berduka ketika kehilangan waktu-waktu sujud, yang menerapkan waktu terdekat dengan Allah Ta’ala. Masruq berkata, “saya tidak sedih jika tidak memperoleh dunia dan hanya sedih saat kehilangan waktu sujud kepada Allah Ta’ala.”
Sepertinya, pasca indera orang-orang sehebat itu tidak berfungsi saat mereka berdiri di depan Allah Ta’ala. Tidak ada yang mereka lakukan, selain khusyuk di depan-nya. Abu Bakr Ahmad bin Ishaq berkata di biografi Muhammad bin Nashir Al-Marwazi, “Aku pernah bertemu dua imam. Sayangnya, aku tidak dapat belajar hadits pada keduanya. Keduanya ialah Abu Hatim Ar-Razi dan Muhammad bin Nashir Al-Maewazi, aku belum pernah menemukan orang yang shalatnya lebih baik dari shalatnya. Aku mendapat informasi bahwa kumbang menempel di keningnya, lalu darah mengucur ke wajahnya, tapi ia sama sekali tidak bergerak.”

Air Mata Mahal
Api maksiat yang masuk ke hati manusia merubah hati mereka menjadi arang hitam. Api maksiat hanya bisa dipadamkan dengan air mata yang mengalir deras sebab takut kelak dihisab pada Hari Kiamat dan perasaan semua perkataan dan perbuatan selalu diawasi Allah Ta’ala. Tentang air mata mahal ini, Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Jika mata seseorang mengucurkan air mata karena takut Allah, maka Dia menharamkan neraka menyentuh tubuhnya. Jika air mata mengalir ke pipinya, maka wajahnya tidak hitam dan hina pada hari Kiamat. Tidak ada amal perbuatan yang berbobot berat dan diberi pahala, selain air mata memadamkan panasnya api neraka. Jika ada seseorang pada suatu umat menangis karena takut Allah, aku berharap umat itu secara keseluruhan dirahmati Allah gara-gara tangis satu orang tersebut.”
Api maksiat dan kelalaian telah merasuki hati kita, lalu membuat hati kita tidak mampu khusyuk. Maukah kita memadamkan api maksiat itu, dengan air mata mahal seperti di atas dan kita berbenah diri mulai sekarang juga?



INGATLAH PEMUTUS SEGALA KENIKMATAN

Jika seseorang rajin ingat pemutusan segala kenikmatan, yaitu kematian, ia menyatu dengan akhirat, lalu segera beramal sebelum kematian menjemputnya. Sarana efektif yang membantu orang untuk ingat kematian ialah kuburan, yang menasihati manusia tanpa bicara dan mengingatkan mereka tentang hari kembali yang tidak terelakkan. Lalu, hal itu mendorong mereka meningkatkan persiapan menghadapi hari Kiamat. Karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh kaum Muslim ingat kematian sebanyak mungkin. Beliau bersabda,

“Perbanyaklah ingat pemutus segala kenikmatan, yaitu kematian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda di hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi,

“Tadinya, aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang, Muhammad telah diberi izin menziarahi kuburan. Karena itu, ziarahi kuburan, karena mengingatkan kalian pada kematian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Obat Termujarab
Tentang hadits di atas, Al-Manawi berkata, “Obat paling mujarab bagi orang yang hatinya keras dan bergelimang dosa ialah kuburan jika ia mendapat manfaat dengan banyak ingat padanya. Jika tidak, maka dengan sering menyaksikan orang-orang yang hendak meninggal dunia, karena melihat suatu kejadiaan secara langsung berbeda dengan hanya mendengarnya dari orang lain.”
Abu Al-Itahiyah merasa perlu ziarah kubur, agar mendapatkan ibrah darinya. Ia berkata pada dirinya sendiri,

Diriku, ziarah kuburan dan ambillah ibrah darinya
Sebab, di dalamnya banyak sekali pelajaran bagi yang menziarahinya
Perhatikan, bagaimana kondisi orang-orang di dalamnya
Dulu mereka kuat, tapi sekarang semua mati di dalamnya
Dulu, mereka berambisi dan berharap, persis seperti dirimu

Setelah mengadakan muhasabah terhadap diri sendiri, Al-Itahiyah menziarahi kuburan untuk mendengar wejangan penasihat bungkam ini, yang tidak tahu menahu bahasa syair, tapi bahasa yang jauh lebih membekas dari seluruh syair. Abu Al-Itahiyah berkata,

“Aku menziarahi kuburan, yaitu kuburan raja di dunia dulu
Dan orang-orang yang hanyut dalam syahwat
Dulu, mereka budak makanan, minuman, pakaian parfum
Ternyata, kini mereka tak lain tubuh-tubuh telanjang tanpa busana
Dan wajah-wajah yang belepotan dengan tanah
Tanah pun berubah menjadi tengkorak putih dan tulang lapuk
Sepengetahuanku, kuburan itu pemandangan
Yang mehilangkan kesedihan dan mengalirkan air mata
Mahasuci Allah yang menundukan manusia dengan takdir-Nya
Mahasuci Pencipta udara dan penggerak seluruh gerakan.”

Dialog dengan Kuburan
Tanah yang diam seribu bahasa punya suara yang hanya didengar oleh orang yang ingat pemutus segala kenikmatan (kematian) ketika ia berada di depannya untuk merenungkannya. Berdialog dengan kematian itu kenikmatan yang hanya diperoleh orang-orang yang ingin menjadi “orang-orang akhirat” dan meniru Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu yang mencerai dunia dengan talak tiga.
Saya pikir, Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i salah seorang dari orang-orang yang berdialog dengan kuburan dan memahami bahasa tanah yang bungkam ini. Setelah memakamkan salah seorang kerabatnya, Musthafa Shadiq Ar-Rafi’I berdiri di depan kuburan kerabatnya itu, guna berdialog denganya dan mendengar jawabannya. Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Aku bertanya pada kuburan, mana harta dan perabotan? Mana kecantikan dan daya tarik? Mana kesehatan dan kegagahan? Mana sakit dan kelemahan? Mana kedigdayaan dan kesombongan? Mana kehinaan?”
Kata Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i lebih lanjut, “Itu semua tidak ada ke sini. Andai manusia mengambil ketenangan kuburan untuk dunia mereka, kedamainnya untuk selisihan mereka, dan keheningannya untuk kelelahan mereka, tentu mereka sanggup menundukkan kematian, seperti halnya merea menundukkan sistem alam raya.”
Sebelum Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i, Abu Al-Itahiyah berdiri di kuburan seseorang. Abu Al-Itahiyah ingat kemewahan yang dulu didewa-dewakan manusia, badan segar bugar yang membuat mereka makin tampan mempesona, dan parfum yang baunya menyengat ke mana-mana. Ia betanya kepada kuburan, apa yang terjadi pada mereka setelah itu? Lebih lengkapnya, ia berkata,

“Aku bertanya pada kuburan,
‘Apa yang engkau perbuat terhadap wajah-wajah
yang belepotan denganmu?’
Kuburan menjawab, ‘Bau mereka memuakkanmu,
Padahal, dulu mereka harum wangi
Aku makan tubuh yang segar bugar
Dulu, tubuh tersebut elok
Tidak ada yang aku sisakan
Kecuali tengkorak putih dan tulang-tulang lapuk.”


Tidak Ada yang Tersisa Kecuali Amal Perbuatan
Begitulah, segala sesuatu terhenti di kuburan, liang lahad. Tidak ada lagi senyum, canda tawa, perdebatan, dan teriakan. Tiada lagi pembangkangan dan arogansi. Tiada lagi harapan dan kerakusan. Tiada lagi keikhlasan dan riya’. Tiada lagi perasaan bangga dengan jabatan, kecantikan, ketampanan, sanak kerabat, status sosial tinggi, dan kecerdasan. Kedzaliman orang dzalim dan kehinaan orang hina pun tidak ada lagi. Wajah ayu dan tampan, tangan dzalim. Lidah bohong, mata yang berkhianat, dan hati yang keras; semuanya berubah menjadi tengkorak dan tulang-tulang lapuk serta menjadi barang mainan cacing dari semua arah. Tidak ada yang tersisa, kecuali amal perbuatan penghuni kuburan. Ia akan ditanya Munkar dan Nakir tentang amal perbuatannya. Tidak ada yang tersisa, kecuali pertanyaan kedua malaikat itu.
Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Ke mana saja orang pergi, ia pasti ditanya banyak hal. Siapa namamu? Apa pekerjaanmu? Berapa umurmu? Bagaimana kabarmu? Apa yang engkau miliki? Apa aliranmu? Apa agamamu? Bagaimana pendapatmu? Itu semua tidak berlaku dua kuburan, seperti halnya semua bahasa tidak berarti banyak bagi orang bisu. Di kuburan, lidah azali menanyakan satu hal kepada manusia, ‘Apa amal perbuatan Anda?’”
Di kuburan ada dua kemungkinan: amal perbuatan yang merubah kuburan menjadi taman surga atau amal perbuatan yang merubah Kuburan menjadi kubangan neraka.

INILAH DUNIA YANG KALIAN BURU

Di buku Az-Zuhdu, Imam Ahmad menyebutkan, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berjalan melewati tempat sampah, lalu berhenti di sana. Sepertinya, ia prihatin pada sahabat-sahabatnya dan mereka terganggu dengan bau tempat sampah itu. Umar bin Khaththab berkata kepada mereka, “Inilah dunia yang kalian buru.”
Seperti itulah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu men-tarbiyah para pengikutnya. Ia ingatkan mereka tentang hakikat dunia yang diperebutkan manusia. Dalam pandangan Umar bin Khaththab, dunia hanyalah tempat sampah, yang sarat dengan barang-barang bekas dan tidak ada satu pun yang layak pakai. Apa saja di tempat sampah berbau busuk dan tidak utuh lagi. Ada hewan-hewan kecil, makanan basi, perabotan terpotong-potong, “peninggalan” manusia dan hewan. Karena itu, dunia tidak layak diburu jika perumpamaannya seperti itu. apalagi, Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya Kami pasti menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus.” (Al-Kahfi: 6-7)

Orang-Orang yang Tidur dalam Keadaan Sujud
Pasca era Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, tibalah era salah seorang tokoh generasi tabi’in yang pernah hidup sezaman dengan Umar bin Khaththab dan terkesan dengan methode tarbiyahnya terhadap parapengikutnya. Tabi’in itu pindah ke Mesiruntuk menerapkan tarbiyah ala Umar bin Khaththab di sana. Salah seorang murid tabi’in itu, yang bernamaIbrahim bin Muhammad bin Al-Muntasyir, berkata, “Masruq mengendarai baghlah pada setiap pekan dan memboncengku dibelakangnya. Suatu hari, ia datang ke tempat sampah itu, lalu berkata, ‘Dunia ada di bawah kita’.”
Persepsi masruq seperti itu tentang dunia membuatnya khawatir waktunya hilang sia-sia di selain dzikir kepada Allah Ta’ala. Istrinya berkata, “Masruq shalat hingga kakinya bengkak. Terkadang, aku duduk menangis, sebab tidak tega melihat apa yang diperbuat Masruq terhadap dirinya.”
Sahabat Masruq sekaligus pakar tafsir, Said bin Jubair, ingat pertemuan hari jum’at dengannya. Kata Said bin Jubair, “Masruq berkata kepadaku, ‘Tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajah kita kita tanah (sujud). Aku tidak pernah sedih karena sesuatu melebihi kesedihanku sebab tidak sujud kepada Allah Ta’ala.
Apa yang mesti disenangi Masruq di dunia ini, wong ia menganggap dunia sebagai tempat sampai di bawah kaki baghlah-nya dan berpuasa di siang hari yang panas membakar hingga tak sadarkan diri? Suatu hari, putrinya, Aisyah, datang kepada Masruq dan berkata kepadanya, “Ayah, batalkan puasamu. Minumlah.” Masruq berkata, “Putriku, apa yang engkau inginkan padaku? Aku hanya menginginkan diriku dirahmati pada hari, di mana satu harinya sama dengan lima puluh ribu tahun.”
Masruq tidak kenal rasa panas, lapar, dan sakit ketika ingat panasnya Hari Kiamat, lapar dan kehausan saat itu. ia tahu hakikat dunia, lalu menghinanya dan tidak menjadi tawanannya. Adakah kelelhan yang melebihi kelelahan mengerjakan ibadah haji dan Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam sendiri mengkategorikan jihad tanpa kekuatan senjata? Kendati demikian, Masruq mengerjakan qiyamul lail tiap malam, hingga Abu Ishaq berkata, “Masruq melaksanakan ibadah haji dan tidak tidur melainkan dalam keadaan sujud. Itu ia kerjakan hingga pulang.”

Tidak Ada Istirahat kecuali di bawah Pohon Thuba
Siapa menginginkan akhirat dan berusaha keras untuk mendapatkannya, ia harus kelelahan. Sebab, dunia tidak diciptakan sebagai tempat istirahat dan tempat domisili. Para dai harus menyadari dunia itu medan ujian dan jembatan menuju akhirat. Karena itu, Ibnu Al-Qayyim berseru kepada orang-orang yang ingin istirahat di dunia dan menjadikan sikap menunda-nunda perbuatan sebagai jalan hidup mereka, hingga umur mereka habis tanpa mampu berbuat apa-apa, “Ahli ibadah tidak menemukan tempat istirahat, kecuali di bawah pohon Thubah. Pecinta Allah tidak dapat mendapatkan tempat domisili, kecuali di akhirat. Sibuklah anda untuk akhirat selama hidup di dunia, niscaya Anda terlindung setelah kematian.”
Itu peringatan bagi setiap dai yang mengklaim waktu miliknya dan ia dapat menggunakannya sekehendak hatinya. Tidak, justru waktu seperti pedang. Jika Anda tidak memotongnya, Anda dipotong pedang itu. di akhirat kelak, penghuni surga tidak menyesali sesuatu melebihi penyesalan mereka terhadap waktu yang hilang di dunia, tanpa amal shalih di dalamnya. dulu, ditanyakan kepada ahli ibadah, “Kenapa Anda melelahkan jiwa Anda?” Ahli ibadah menjawab, “Aku menginginkan istirahat bagi jiwaku.”


KIAT - KIAT MENGUATKAN KESADARAN

Perilaku Orang-Orang Lalai

Tentang kondisi orang-orang lalai, Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah berkata, “Mereka tidak tahu kenapa mereka diciptakan dan apa yang dikehendaki pada mereka. Puncak keinginan mereka ialah meraih tujuan pribadi mereka. Ketika berhasil mendapatkannya, mereka tidak menggubris kecaman yang diarahkan kepada mereka. Mereka korbankan kehormatan demi mencapai tujuan pribadi dan lebih mengutamakan kenikmatan sesaat kendati menyengsarakan. Ketika berbisnis, mereka mengenakan baju penipu dengan gaya sombong, tidak jujur ketika berbisnis, dan menyembunyikan fakta.jika mereka mendapatkan uang, maka dengan syubat. Jika mereka makan, maka dengan syahwat tinggi. Mereka tidur pada malam hari, kendati sebenarnya mereka tidur di siang harinya. Tidur sejati tidak seperti itu. esok harinya, mereka berusaha meraih keinginan mereka dengan rakus seperti babi, atau anjing yang mengibaskan ekornya, tidak berkemanusiaan seperti singa, agresif seperti srigala, dan punya trik kotor seperti musang. Ketika meninggal dunia, mereka merintih karena tidak dapat melampiaskan hawa nafsu mereka, bukan karena tidak bertakwa. Itulah kadar ilmu mereka.”
Betapa indah deskripsi kondisi dan perilaku orang-orang lalai di atas. Mereka lengket dan menempel dengan lumpur rawa dunia, menolak naik ke tingkat mulia, lebih suka kegelapan, benci cahaya dan siap saja yang menunjukan mereka kepada cahaya. Jika seseorang meninggalkan sifat-sifat yang disebut ibnu Al-Jauzi di atas, ia orang sadar.
Ada beberapa kiat untuk menguatkan kesadaran bagi orang yang ingin sadar. Di antara kiat-kiat itu adalah sebagai berikut.

1. Taubat
Syarat taubat ada tiga: menyesal, tidak lagi mengerjakan maksiat, dan bertekad tidak akan kembali mengerjakan kemaksiatan. Ada syarat keempat terkait dengan hak-hak manusia, yaitu mengembalikan hak-hak itu kepada mereka. Syarat taubat paling penting ialah menyesal, yang membuat seseorang tidak ingin bermaksiat lagi dan bertekad tidak akan kembali kepada kemaksiatan. Imam Al-Jailani berkata muridnya, “Mintalah pertolongan kepada Allah Ta’ala dan kembalilah kepada-Nya dengan menyesal dan minta ampun, agar Dia membebeskanmu dari cengkraman musuh-musuhmu dan menyelamatakanmu dari gelombang laut kebinasaanmu. Coba pikirkan akibat perbuatan burukmu yang dapat engkau tinggalkan dengan mudah. Engkau berteduh di bawah pohon kelalaian. Keluarlah dari naungan pohon itu, sebab engkau telah melihat sinar matahari dan tahu jalan yang benar. Pohon kelalaian menjadi subur dan berkembang dengan air kebodohan. Sedang pohon kesadaran subur dan berkembang dengan air pemikiran (ilmu). Pohon taubat menjadi subur royo-royo dengan air penyesalandan pohon cinta bersemi dengan air muwafaqah (menyesuaikan diri dengan pihak yang dicintainya, yaitu Allah Rasulu-Nya).”
Berjalan di atas jalan yang benar terasa amat mudah jika para pejalannya tahu kualitas air yang mengairi keempat jenis pohon di atas. Kelalaian hanya berkembang dengan ketidaktahuan terhadap hakikat jalan yang benar, rintangan-rintangannya, finis dan kehidupan sesudahnya. Kesadaran bersemi dengan selalu memikirkan semua itu. taubat tidak berkembang, akarnya tidak menguat, ranting-rantingnya tidak banyak, daun-daunnya tidak rimbun, dan bunga-bunganya tidak mekar, kecuali dengan sikap menyesali apa yang telah terjadi. Cinta tidak meningkat, kecuali dengan cara menyesuaikan perbuatan dengan apa yang diperintahkan Allah Ta’ala dan ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam.

2. Ingat Kematian
Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam bersabda,

“Perbanyaklah ingat pemutusan seluruh kenikmatan.”

Pada hadits di atas, Rasulullah Shallallahu Alaihis Sallam mengumpamakan kematian dengan pemutus seluruh kenikmatan dan itu bukti kematian mampu megikis habis sikap lalai ketika berada di puncaknya. Lalu, orang lalai ingat “hakikat” yang suatu saat menjemputnya dan datang kepadanya secara tiba-tiba. Jika ia ingat mati secara intens, ia sadar dan berusaha segera beramal semaksiamal mungkin, agar wajahnya bersinar putih saat menghadap Allah Ta’ala.

3. Ingat Akibat Penundaan Siksa
Jika Allah Ta’ala menunda pengiriman siksa kepada hamba-hamba-Nya, maka itu tidak sama dengan penundaan siksa oleh manusia terhadap sesamanya. Di antara rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya ialah Dia memberi tempo waktu kepada mereka, menganugerahi kesempatan demi kesempatan kepada orang lalai agar “kembali”, dan membenamkannya ke dalam ujian dengan harapan ia bangkit. Jika seabrek kesempatan itu tidak banyak berguna baginya dalam hidupnya, maka Allah Ta’ala menyesatkannya dengan mengunci hatinya. Akibatnya, ia tidak dapat melihat, mendengar, dan memahami sesuatu. Allah Ta’ala berfirman,

“Allah mengunci mati hati dan pendengar mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Al-Baqarah: 7).

Karena akibat penundaan siksa teramat bahaya, Abu Al-Fadhl Jabrail bin Manshur berkata kepada orang lalai, “Sampai kapan Anda larut dalam kelalaian? Sepertinya, Anda menganggap remeh akibat penundaan siksa? Masa santai dan muda telah berlalu, sementara Anda tidak meraih keridhaan dai Tuhan Anda. Sekarang, yang tersisa adalah masa-masa hina dan malas, serta Anda tidak mendapatkan manfaat apa pun.”

4. Ingat Dosa-Dosa
Ingat dosa-dosa membuat orang memandang dosa itu buruk dan bersemangat tidak terjerumus ke dalamnya pada masa mendatang. Juga membuatnya selalu waspada dan tidak lalai. Di antara orang yang rajin ingat dosa-dosa ialah orang ahli ibadah dan orang zuhud, Kahmas bin Al-Hasan. Diriwayatkan dari Imarah bin Zadzan yang berkata, “Kahmas bin Al-Hasan berkata kepadaku, ‘Hai Abu Salamah, aku pernah mengerjakan satu dosa dan aku menangisinya selama empat puluh tahun.’ Aku berkata, ‘dosa apa itu, wahai Abu Abdullah?’ Kahma bin Al-Hasan menjawab, ‘suatu ketika, salah seorang saudaraku mengunjungiku, lalu aku membeli ikan untuknya. Usai saudaraku makan ikan itu, aku pergi ke kebun salah seorang tetanggaku, lalu mengambil segenggam tanah. Saudaraku membersihkan tangannya dengan segenggam tanah itu. aku menangisi dosaku mengambil segenggam tanah tersebut selama empat puluh tahun’.”
Kahmas bin Al-Hasan mengambil segenggam tanah, tapi ia menangisinya selama empat puluh tahun. Bagaimana kalau ia masih hidup, lalu melihat orang “merampok’ harta sebesar Gunung Tihamah? Itulah bentuk sikap tidak lalai yang mereka upayakan, lalu Allah Ta’ala membantu mereka dalam meniti jalan yang benar.

Jumat, 11 April 2008

JALAN-JALAN PAGI


Foto ketika jalan-jalan bersama siswa-siswa SMA Al Falah Ketintang, Surabaya

FOTO PRIBADI




PAWAI BERSAMA AL FALAH

Yayasan pendidikan Al Falah Surabaya mengadakan pawai dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW

Selasa, 08 April 2008

Apa yang harus dilakukan setelah ingat kematian?

Di Mustadrak-nya, Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Aku pernah melarang kalian menziarahi kubur: Sekarang, ziarahilah kuburan, karena menipiskan hati, membuat mata mengeluarkan airmata, mengingatkan kepada akhirat, dan jangan berkata jorok.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan dishzhihkan Al-Albani).

Hadits di atas dan hadits-hadits lainnya memotivasi orang Mukmin untuk meninggalkan lingkungan “malas” dan tidak berperasaan, yang biasa ia jalani, menuju dunia baru, yang berperasaan dan ingat.
Ingat kematian diperintahkan, namun bukan tujuan. Ingat kematian diperintahkan, agar mendorong orang beramal, yang merupakan sebab terpenting orang selamat dari neraka dan mendapat keridhaan Allah Ta’ala pada Hari Kiamat. Tangisan dan penyesalan karena ingat kematian dan akhirat tidak berarti bagi pelakunya jika tidak ditindaklanjuti dengan amal perbuatan.

Tidur Panjang
Penyair zuhud, Abu Al-Itahiyah, menyadari urgensi beramal setelah kematian. Ia berkata dan mengarahkan perkataannya kepada orang-orang yang sibuk membangun rumah di dunia dan tetek bengeknya, tapi lupa membangun rumah di negeri akhirat,

“Hai pembangun rumah, apa yang telah engkau siapkan untuk rumahmu di negeri lain?
Hai penghampar permadani tebal,
Anda jangan lupa tidur panjang dan besar
Engkau telah dipanggil dan menjawab penggilan itu
Coba pikirkan, kenapa engkau dipanggil?
Bukankah Anda menghitung orang-orang hidup yang Anda lihat
Lalu, Anda melihat mereka semua menjadi mayat-mayat?
Anda pasti tiba di tempat mayit-mayit itu
Dan tiba di terminal mereka.”

Jika masa semua tidur tidak bisa disamakan dengan masa tidur di kuburan, bukankah masuk akal kalau persiapan menggelar hamparan untuk tidur panjang itu lebih penting diutamakan?

Kendala Beramal
Tidak pelak lagi, sibuk dengan dunia daripada akhirat penyebab terbesar lemahnya persiapan dan rendahnya semangat beramal untuk menghadapi hari-hari setelah kematian. Selalu ingat akhirat, hingga menjadi obsesi utama manusia unsur paling penting timbulnya semangat beramal. Ini karena perasaan sesaat hanya menghasilkan semangat beramal yang hanya berusia sesaat pula, atau kadang malah tidak menghasilkan semangat beramal sama sekali.
Barangsiapa menjadikan akhirat sebagai obsesi utamanya dan kesibukan prinsipilnya, maka dunia datang kepadanya dan mendorong orang tersebut mengambilnya. Di sisi lain, kita lihat dunia lari dari orang yang memburunya. Itulah yang disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika bersabda,

“Barangsiapa akhirat menjadi obsesinya, maka Allah menjadikan hatinya kaya, melancarkan semua urusannya, dan dunia datang kepadanya dalam keadaan tunduk. Dan, barangsiapa dunia menjadi obsesinya, maka Allah menjadikannya miskin, mengacaukan semua urusannya, dan dunia datang kepadanya sebatas yang ditakdirkan untuknya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Syumaith bin Ajlan berkata, “Barangsiapa selalau I ngat kematian, ia tidak peduli apakah dunia itu sempit atau luas.”
Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa selalu dan sering ingat kematian punya pengaruh signifikan di amal perbuatan seseorang dan persiapannya menyongsong hari-hari setelah kematiannya. Itu pula kesimpulan Al-Hasan Al-Bashri sebelum kita ketika ia berkata, “Jika seseorang seringa ingat kematian, ia melihat hasilnya di amal perbuatan yang ia lakukan. Barangsiapa berangan-angan panjang, amal perbuatannya buruk.”

Terkecoh dengan Orang yang Berumur Panjang
Ini sebab lain lemahnya persiapan hari-hari setelah kematian, sebab, penglihatan sebagian orang terhadap orang-orang berumur panjang membuat mereka lupa bahwa kematian tidak pilih kasih terhadap anak muda, orang tua, dan bayi. Ia ditipu setan dengan iming-iming akan berumur panjang, seperti orang-orang berumur panjang itu. karena itu, tundahlah amal perbuatan dan kerjakan kalau sudah tua saja! Itulah bujuk rayu setan kepadanya. Jawabnya, Allah Ta’ala berkehendak merahasiakan kapan terakhir hidup kita, agar itu mendorong kita beramal dan selalu melakukan persiapan menghadapi akhirat. Ibnu Al-Jauzi berkata, “Orang yang tidak tahu kapan kematian datang kepadanya harus selalu siap, tidak terkecoh dengan kesehatan dan masa muda. Sebab, jarang sekali orang meninggal dunia dalam usia tua. Justru banyak sekali orang meninggal dunia dalam usia muda. Karena itu, tidak banyak orang yang hidup hingga tua. Orang-orang dulu berkata,
“Satu orang hidup lama
Lalu, ia mengecoh banyak orang
Dan membuat lupa pada orang-orang yang meninggal dunia dalam usia muda’.”

Badai Kematian
Kematian ibarat badai yang menyerang daratan sedikit demi sedikit, lalu besar-besaran. Orang berakal ialah orang yang tidak hidup dalam ilusi ala anak Nabi Nuh Alaihis Salam. Ia kira dirinya selamat dari badai dengan berlindung di puncak gunung. Kematian juga seperti itu. barangsiapa tidak siap menghadapinya, ia ditelan dan ditenggelamkan kematian sebelum sempat berpikir untuk siap-siap. Ibnu Al-Jauzi berkata, “Badai kematian telah datang. Karena itu, naiklah ke perahu ketakwaan.”
Perahu tersebut bukan perahu hiasan dan wisata. Namun perahu penyelamat dari badai yang akan membanjiri bumi. Itulah badai yang membuat orang zuhud, Said bin As-Saib, ketakutan. Dikisahkan, airmatanya tidak pernah “kering”. Airmatanya senantiasa mengucur sepanjang tahun. Jika shalat, ia menangis. Jika thawaf, ia menangis. Jika duduk membaca Al-Qur’an, ia menangis. Dan, jika Anda temui dia di jalan, ia menangis.
Kendati demikian, jika ditanya, “Bagaimana kabar Anda pagi ini?” ia menjawab, “Pagi ini, aku sedang menunggu kematian tanpa persiapan maksimal.”
Ini tidak berarti kita ingin sampai ketingkat putus asa dari rahmat Allah Ta’ala dan keluasan ampunan-Nya. Allah lebih penyayang daripada ibu kepada anaknya yang hilang. Kita tidak ingin pasrah tanpa amal perbuatan. Jika tidak beramal, kita dijemput kematian dengan tiba-tiba tanpa persiapan.


CINTA DUNIA

Wanita Tua Renta Berwajah Jelek
Al-Ala’ bin Ziyad berkata, “Di mimpiku, aku lihat manusia membuntuti sesuatu, lalu aku ikut membuntutinya. Aku terkejut, ternyata yang mereka buntuti adalah wanita tua renta berwajah buruk dan mengenakan sejumlah pakaian mewah dan perhiasan. Aku bertanya kepada wanita tua itu, ‘Anda siapa?’ Ia menjawab, “Aku dunia.” Aku berkata, ‘aku berdosa kepada Allah, agar menjadikan benci padaku.’ Wanita itu menjawab, ‘itu terwujud jika engkau benci uang’.”
Cinta harta pilar atau cinta dunia. Menurut tabiatnya, jiwa cinta harta dan memiliki harta senang hartanya bertambah banyak serta tidak ingin hartanya berkurang. Ini karena ia menduga dirinya pemilik asli harta dan lupa atau dibuat lupa oleh setan bahwa harta itu milik Allah Ta’ala yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia mengambilnya dari siapa saja yang Dia kehendaki.
Selain itu, harta merupakan fitnah bagi manusia, kecuali bagi orang-orang yang tahu hakikat harta. Mereka diberi harta oleh Allah Ta’ala, lalu mereka gunakan ke dalam hal-hal positif. Harta ada di genggam tangan mereka, namun tidak menembus hati mereka. Karena itu, mereka dipuji Allah Ta’ala di al-Qur’an,

“Dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9).

Mereka tidak rela menjadi budak jiwa mereka dan lebih berhasyart menjadi penguasa yang bebas dari tekanan jiwa. Mereka pun memperoleh apa yang mereka idam-idamkan, berhak mendapatkan kesuksesan di dunia dan akhirat.

Tegar Menghadapi Rayuan Harta b
Imam Abu Hanifah termasuk orang-orang yang mampu mengalahkan jiwa mereka, tidak ada kekasih selain Allah Ta’ala yang masuk ke hati mereka, dan mereka menolak tunduk kepada selain Dia. Khalifah Al-Mansur memerintahkan Abu Hanifah diberi subsidi sebesar sepulah ribu dirham dan orang yang ditunjuk untuk menjalankan tugas ini adalah Al-Hasan bin Quthubah.
Abu Hanifah sudah merasa uang sebanyak itu dikirim untuknya. Lalu, ia “puasa” tidak bicara dengan siapa pun. Ia seperti tak sadarkan diri. Sesuatu ketika, uang itu tiba dibawa utusan Al-Hasan bin Quhthubah ke rumah Abu Hanifah. Utusan Al-Hasan Quhthubah masuk kerumah Abu Hanifah dengan membawa uang tersebut namun orang-orang berkata, “hari ini, Abu Hanifah tidak bicara sepatah kata pun.” Utusan Al-Hasan bin quhthubah berkata, “Kalau begitu, apa yang mesti aku lakukan?” Orang-orang berkata kepada utusan Al-Hasan bin Quhthubah, “Terserah Anda sendiri.” Lalu, utusan Al-Hasan bin Quhthubah meletakan uang tersebut di salah satu sudut rumah. Uang sepuluh ribu dirham pun berada di tempat itu. ketika Abu Hanifah meninggal dunia, anaknya, Hamad, sedang berpergian. Ketika Hammad datang setelah kematian ayahnya, ia membawa uang sepuluh ribu dirham itu ke rumah Al-Hasan bin Quhthubah. Hammad berkata, “Aku temukan ayahku berwasiat kepada, ‘Jika aku telah dimakamkan, ambillah uang sepuluh dirham di pojok rumah, lalu bawah kepada Al-Hasan bin Quhthubah dan katakan kepadanya, inilah barang yang negkau titipkan kepadaku’.”
Abu Hanifah termasuk orang yang tahu hakikat harta, lalu berinteraksi dengannya berdasarkan pemahaman ini.

Esensi Asset Anda
Al-Hasan Al-Bashri berkata kepada orang-orang yang dibutakan oleh kerakusan dan hati mereka tertutup, lalu tidak tahu hakikat harta dan fitnahnya, serta mengira seluruh hartanya itu milik mereka, “Manusia berkata, ‘Ini hartaku. Ini hartaku.’ Padahal, harta Anda tidak lain apa yang telah Anda makan hingga habis, pakaian yang Anda kenakan hingga rusak, dan apa yang Anda berikan demi mengharapkan pahala kelak.”
Hakikat ini hanya dipahami orang-orang yang jiwa mereka tidak sudi terjerumus ke dalam “bangkai” (dunia), karena mereka terbiasa membawa jiwa mementingkab hal-hal besar. Jiwa mereka menempeldi hati burung hijau yang terbang melayang-layang di atas lahan surga. Dalam pandangan mereka, dunia tidak lebih dari bangkai dan pencari akhirat tidak layak mengarahkan obsesi kepadanya. Inilah yang dikatakan ibnu Al-Qayyim saat berkata, “Dunia adalah bangkai dan siang itu tidak mau menerkam bangkai.”

Kelezatan Dunia
Orang-orang seperti di atas paham betul esensi dunia dan fitnahnya. Karena itu, mereka lebih mengutamakan akhirat daripada dunia. Mereka bandingkan antara ketidaklanggengan dunia dengan keabadian surga beserta kenikmatannya, lalu mereka memilih sesuatu yang abadi daripada sesuatu yang fana. Apa saja yang ada di dunia sifatnya temporer. Kelezatan juga bersifat sementara dan baru diperoleh setelah mengarungi seabrek kelelahan. Hakikat ini dijelaskan Ibnu Al-Jauzi saat berkata, “Di dunia ini, tidak ada orang yang lebih tolol dari orang yang mencari kelezatan dunia. Di dunia ini, sebenarnya tidak ada kelezatan. Yang ada ialah istirahat sejenak setelah penderitaan panjang.”

HARI-HARI DUNIA DI AKHIRAT

Sebelumnya, sudah disebutkan penghuni dunia, yang dulunya paling mewah hidupnya. Ketika ia dicelupkan sekali saja ke neraka, ia lupa seluruh kenikmatan dunia, yang pernah ia rasakan. Ia pun bersumpah tidak pernah merasakan kenikmatan apa pun padahal, ia penghuni neraka, yang dulunya orang dunia yang paling mewah hidupnya.
Beratnya siksa Hari Kiamat membuat manusia lupa semua perbuatan mereka di dunia. Di antara bentuk lupa mereka ialah mereka berselisih pendapat dan tidk ingat lagi berapa lama sesungguhnya mereka dulu hidup di dunia. Dalam hal ini, mereka terbagi ke dalam lima kelompok.

Kelompok Pertama Mengatakan Sepuluh Hari
Allah Ta’ala berfirman,

“(Yaitu) di hari ditiup sangkakala (terompet) dan Kami kumpulkan pada hari itu orang-orang yang berdosa dengan muka yang biru muram. Mereka berbisik-bisik di antara mereka, ‘Kalian tidak berdiam (Di dunia), melainkan hanya sepuluh (hari)’.” (Thaha: 102-103)

Orang-orang berdosa dikumpulkan tanpa cahaya dan wajah mereka berubah warnanya menjadi biru muram, karena beratnya siksa yang mereka alami dan dosa mereka yang tidak menyisahkan cahaya di wajah mereka. Sepertinya, kita lihat mereka di kaca TV saling berbisik sesama mereka, di pemandangan menjijikan. Mereka telanjang badan psersis seperti pertama kali mereka lahir ke dunia dan cemas ingat usia sebenarnya mereka hidup di dunia. Salah seorang dari mereka berkata kepada sebagian lain dengan suara pelan, “Kalian hidup hanya sepuluh hari di dunia.”
Jumlah ini pun, sepuluh hari, masih dianggap terlalu banyak oleh kelompok kedua, yang di dalamnya terdapat orang-orang lurus, cerdas, dan bijak. Kelompok dua tidak mengakui jumlah tersebut dan menegaskan mereka hidup di dunia kurang dari sepuluh hari.

Kelompok Kedua Mengatakan Satu Hari
Tentang kelompok ini, Allah Ta’ala berfirman,

“Kami lebih tahu apa yang mereka lakukan, ketika orang yang paling lurus jalannya di antara mereka berkata, ‘Kalian tidak berdiam (di dunia), melainkan hanya sehari saja’.” (Thaha: 104)

Sepuluh hari berkurang menjadi satu hari. Betapa hinanya dunia, yang mereka sembah selain Allah! Ya, dunia palsu yang mereka perjuangkan mati-matian dan mereka kira kekal abadi di dalamnya. lalu mereka kafir, mengembangkan praktek riba, minum minuman keras, berzina, berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah Ta’ala, wanita-wanita mereka tampil norak, mengerjakan apa saja yang diharamkan dan dilarang Allah. Mereka tidak pernah menduga akan bertemu Allah Ta’ala pada suatu waktu dan ditanya banyak hal. Mereka tidak pernah membayangkan fakta penting bahwa mereka sendiri yang mengecilkan arti dunia, hingga mengatakan hanya hidup sehari di dunia. Satu hari ini pun, yang tadinya dikurangi dari sepuluh hari, masih dianggap terlalu banyak oleh kelompok lain dan mereka tidak menerima bilangan itu, karena saking beratnya siksa akhirat, yang membuat mereka semakin lupa dan saling berselisih paham tentang masa sebenarnya mereka hidup di dunia. Ada kelompok lain yang menganggap sebentar masa hidup mereka di dunia, sangat cepat, dan tidak mengakui bilangan sebelumnya, untuk menegaskan bahwa mereka hidup di dunia kurag dari sehari.

Kelompok Ketiga Mengatakan Kurang dari Sehari
Tentang kelompok ini, Allah Ta’ala berfirman,

“Allah bertanya, ‘Berapa tahun lamanya kalian tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal sehari atau setengah hari, maka tanyakan kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfirman, ‘Kalian tidak tinggal melainkan sebentar saja, kalau kalian mengetahui.’ Maka apakah kalian mengira sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mukminun: 112-115).

Sayyid Qutb Rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu sudah tahu berapa lama sesungguhnya mereka hidup di dunia. Pertanyaan Allah pada ayat di atas merendahkan arti dunia dan mengecilkan hari-hari mereka di dalamnya. mereka membeli hari-hari abadi di akhirat dengan dunia. Di akhirat, mereka merasakan hidup mereka di dunia dulu pendek dan tidak lama. Mereka putus asa dan dada mereka sesak. Masa hidup mereka tidak banyak berarti bagi mereka. Mereka berkata, ‘Kami tinggal di bumi sehari, atau setengah hari. Tanyakan kepada orang-orang menghitung.’
Tapi itu jawaban sempit, putus asa, dan sedih! Jawaban balik atas jawaban orang kafir itu ialah, ‘Kalian hidup di bumi sebentar saja dibanding masa tingggal yang kalian jalani sekarang jika kalian bisa menghitung dengan baik.’
Allah berfirman, ‘Kalian tidak tinggal melainkan sebentarsaja, kalau kalian mengetahui.’ Setelah itu, mereka dihina dan dikecam keras atas pendustaan mereka kepada akhirat. Selain itu, Allah Ta’ala memberi penjelasan hikmah hari kebangkitan yang dirahasiakan sejak awal penciptaan makhluk. Allah berfirman, ‘Maka apakah kalian mengira sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main dan kalian tidak akan dikembalikan kepada kami?”
Mereka tidak hanya menyimpulkan masa hidup mereka di dunia setengah hari. Ada kelompok lain yang menolak pendapat sebelumnya dan menandaskan masa hidup mereka di dunia dulu kurang dari setengah hari.


Kenapa Doa Tidak Segera Terkabul?

Ada masalah penting yang perlu saya ingatkan kepada aktivis Islam. Yaitu, kadang, ada aktivis Islam berdoa kepada Allah Ta’ala dan minta sesuatu kepada-Nya. Ia berdoa dan berdoa, dengan mengiba kepada-Nya. Tapi, doanya tidak kunjung dikabulkan Allah Ta’ala. Sejak saat itu, ia tidak lagi berdoa dan tidak punya harapan doanya dikabulkan Allah Ta’ala. Sikap seperti itu dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,

“Dioa salah seorang dari kalian dikabulkan selagi ia tidak buru-buru doanya dikabulkan. Ia berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tapi doaku tidak dikabulkan’.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Di riwayat Muslim disebutkan,

“Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan minta segera doa dikabulkan?’ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,’Hamba itu berkat, aku berdoa dan berdoa, tapi doaku tidak dikabulkan’.” (Diriwayatkan Muslim)

Akhi, aktivis Islam, ketahuilah, ada banyak sebab kenapa doa tidak segera dikabulkan Allah Ta’ala dan ada hikmah besar di balik tidak dikabulkannya doa dalam waktu cepat. Di antara sebab dan hikmah itu adalah sebagai berikut:
1. Bisa jadi, penyebab tertundanya pengabulan doa Anda dikarenakan Anda belum memenuhi syarat-syarat diterimanya doa. Kadang, bentuknya ialah Anda tidak menghadirkan hati Anda saat berdoa, atau waktu berdoa Anda bukan waktu dikabulkannya doa, atau Anda tidak khusyuk, merendahkan diri, dan syarat-syarat doa penting lainnya.
2. Kadang, tidak terkabulnya doa dikarenakan sebab tertentu, atau ada dosa yang Anda belum bertaubat darinya, atau ada dosa di mana Anda tidak bertaubat dengan jujur darinya, atau makanan Anda mengandung syubhat atau ada hak milik orang lain pada Anda dan Anda belum mengembalikannya. Karena itu, Anda harus bertaubat dengan taubat nashuhah, dengan melengkapi syarat-syaratnya dan mengembalikannya hak orang lain kepada pemiliknya terlebih dahulu. Inilah sebab terpenting tidak dikabulkannya dia. Disebutkan di hadits bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Hai Sa’ad (bin Abu Waqqash), makanlah makanan yang baik-baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan.”

Juga disebutkan di hadits shahih,

“Lalu, Rasulullah mengisahkan seseorang yang rambut acak-acakan, berdebu, dan menengadahkan tangan ke langit untuk berdoa, ‘Ya Allah, ya Allah.’ Padahal, makanannya haram. Minumannya haram. Pakaiannya haram. Dan, diberi makan dari sumber haram. Bagaimana doanya dikabulkan?”
(Diriwayatkan Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

Akhi, aktivis Islam, Anda harus membersihkan “jalan-jalan” terkabulnya doa dari segala kotoran dosa.
3. Bisa jadi, Allah Ta’ala sengaja menyimpan pahala doa dan baru Dia berikan kepada Anda do akhirat kelak atau Dia menghilangkan keburukan dari Anda. Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Jika di atas bumi ada orang Muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, maka Dia mengabulkan doa itu atau menghilangkan keburukan darinya, selagi ia tidak mengerjakan doa atau memutus hubungan kekerabatan.” Seseorang berkata, “Bagaimana kalau kita memperbanyak doa?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah lebih banyak lagi mengabulkan doanya atau menghilangkan keburukan darinya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim).

Di riwayat Al-Hakim ada tambahan,

“Atau Allah menyimpan pahala seperti doa itu untuknya.” (Diriwayatkan Al-Hakim).

Akhi, aktivis Islam, barangkali, ini lebih baik bagi Anda, sebab dengan disimpannya pahala doa di akhirat dan baru diberikan kepada Anda saat itu, maka itu mengangkat derajat dan martabat Anda. Saat itu, Anda berbahagia dan berharap seandainya seluruh pahala doa Anda disimpan dan baru dibagikan di akhirat.
4. Penundaan terkabulnya doa merupakan ujian baru dari Allah Ta’ala kepada seseorang. Allah Ta’ala ingin menguji iman orang itu, dengan doa tidak segera dikabulkan, setan membisikan pikiran jahat kepada seseorang, dengan berkata kepadanya, “Apa yang Anda minta itu ada pada Allah. Kenapa doa Anda tidak segera dikabulkan?” Dan, bisikan-bisikan jahat lainnya. Orang Muslim harus melawan bisikan jahat seperti itu dan mengusirnya dari dirinya, dengan segala sarana. Ia harus tahu bahwa jika hikmah di balik doa tidak dikabulkan dengan segera ialah Allah Ta’ala ingin menguji hamba-Nya dengan cara memerangi iblis, maka hikmah itu sudah cukup baginya.
5. Hikmah lain doa tidak segera dikabulkan ialah orang Muslim tahu hakikat penting. Yaitu, ia hamba Allah Ta’ala, Allah itu pemilik segala-galanya, dan pemilik berhak berbuat apa saja terhadap miliknya, dengan cara memberi atau tidak memberi. Jika Dia mau memberi, maka itu salah satu bentuk keadilan-Nya dan Dia punya alasan kuat di dalamnya. Anda juga tahu, ternyata Anda bukan buruh yang langsung marah jika gajinya tidak segera diberikan dan Anda tahu makna sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam setelah Perdamaian Al-Hudaibiyah,

“Aku Rasulullah dan Allah tidak pernah akan menelantarkan aku.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Ketika doa tidak segera dikabulkan, maka iman seseorang teruji dan terlihat perbedaan antara orang beriman sejati dengan orang beriman gadungan. Sikap orang Mukmin tidak berubah terhadap Tuhannya ketika doanya tidak segera dikabulkan dan malah ia semakin rajin beribadah kepada-Nya.
Setiap aktivis Islam harus ingat bahwa ketika Nabi Ya’qub Alaihis Salam kehilangan anak kesayangannya, Nabi Yusuf Alaihis Salam, beliau tidak henti-hentinya berdoa dan berdoa. Tapi pengabulan doa beliau tertunda hingga waktu yang lama, hingga ada yang mengatakan, “Nabi Ya’qub berdoa selama empat puluh tahun.”
Penderitaan dan cobaan yang dialami Nabi Ya’qub Alaihis Salam semakin meningkat. Anaknya yang lain, Bunyamin, hilang, dan kedua matanya buta karena sedih. Kendati demikian, beliau tetap optimis bahwa penderitaan ini semua suatu saat akan berakhir. Ketika itulah, beliau berkata,

“Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semua kepadaku, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83).

6. Kadang, doa yang tidak segera dikabulkan itu membuat Anda selalu berdiri di depan Allah Ta’ala, selalu merendahkan diri dan berlindung diri kepada-Nya. Sebaliknya, jika permintaan Anda dikabulkan, maka Anda lebih sibuk, lalu Anda tidak ingat kepada Allah Ta’ala, tidak meminta dan berdoa kepada-Nya, padahal keduanya inti ibadah. Inilah realitis sebagian besar kita. Buktinya, jika tidak ada cobaan, maka kita tidak berlindung diri kepada Allah Ta’ala, seperti dikatakan Ibnu Al-Jauzi Rahimahullah. Kadang, cobaan itu sendiri, saking beratnya, membuat Anda lupa Allah. Dan, jika ada sesuatu yang mengiuatkan posisi Anda di depan Allah Ta’ala, maka itu baik sekali bagi Anda. Ibnu Al-Jauzi meriwayatkan dari Yahya Al-Bakka’ (yang suka menangis) bahwa Yahya Al-Bakka’ bermimpi bertemu Allah Ta’ala. Di mimpi itu, Yahya AL-Bakka’ berkata, “Tuhanku, aku sudah sering berdoa kepada-Mu, tapi Engkau tidak kunjung mengabulkan doaku?” Allah berfirman, “Hai Yahya, Aku ingin selalu mendengar suaramu.”
7. Jika doa Anda segera dikabulkan Allah Ta’ala maka bisa jadi Anda malah berbuat dosa, atau berdampak buruk pada agama Anda, atau fitnah bagi Anda, atau apa yang Anda minta itu sekilas baik bagi Anda padahal sebenarnya tidak baik bagi Anda. Terutama, bagi orang yang tidak berdia dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan mengajukan permintaan tertentu kepada Allah Ta’ala.
Diriwayatkan dari salah seorang generasi salaf bahwa ia minta perang meletus kepada Allah, lalu ada suara yang berkata kepadanya, “Jika engkau ikut perang, engkau ditawan. Dan, jika engkau ditawan, engkau masuk Kristen.”
Setiap aktivis Islam harus memperhatikan doa-doa di Al-Qur’an dan Sunnah. Semua yang telah saya sebutkan mengingatkan kita pada firman Allah Ta’ala,

“Dan manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan manusia itu bersifat tergesa-gesa.” (Al- Isra’: 11).

8. Setiap dia punya ketentuandan takaran. Adalah tidak masuk akal, hari ini Anda berdoa Khilafah Islamiyah berdiri, lalu Anda tunggu itu terwujud besok pagi. Doa agung ini punya takaran, syarat, sebab, prolog, hasil, kerja keras, pengorbanan besar, kaderisasi generasi yang dididik Allah Ta’ala secara langsun dan Dia siapkan berkuasa di atas bumi. Adalah tidak realistis, salah seorang dari kita berdoa seperti doa tersebut hari ini dan minta terealisir beberapa hari lagi! Seorang ahli tafsir menyebutkan bahwa jarak antara doa Nabi Musa Alaihis Salam,

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau memberi kepad Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan di kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakan harta benda mereka, dan kunci mati hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus: 88).

Dengan terkabulnya doa dan firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya permohonan kamu berdua dikabulkan.” (Yunus: 89).

Itu empat puluh tahun.

Mari kita kaji. Pihak yang berdoa adalah Nabi Musa Alaihis Salam, salah seorang dari rasul-rasul Ulul Azmi, sedang pihak yang meng-amin-kannya ialah Nabi Harun Alaihis Salam, nabi mulia. Keduanya telah memenuhi semua syarat dan etika doa. Pihak yang didoakan celaka ialah Fir’aun dan konco-konconya, yang notabene manusia paling dzalim, fasik, dan kafir, saat itu. Meski begitu, doa Nabi Musa Alaihis Salam tidak segera dikabulkan Allah Ta’ala. Itulah takaran dan kelebihan doa itu. Yang bukan sembarang doa. Point ini penting bagi siapa saja yang merenungkan dan mengkajinya.
OOO

Senin, 07 April 2008

PENASIHAT YANG SELALU BUNGKAM

Penasehat model ini selalu diam, tidak berkata sepatah kata pun. Tapi, suaranya di lubuk hati manusia merupakan suara paling keras yang pernah ada. Ia penasehat, yang suaranya menggelegar. Ia tidak dapat berkata dengan bahasa teratur, tapi sorot matanya lebih berpengaruh dari semua perktaan penasihat. Ia tidak dapat menggerakan kedua tangan dan matanya ke kanan dan kiri, untuk membawa para pendengar pada ceramahnya, karena daya tariknya sudah tersedot padanya. Ia menarik hati, sebelum tubuh manusia.
Penasihat itu ialah “lubang”, di mana seluruh menusia tidur di dalamnya, sesudah seluruh alat di tubuh mereka tidak befungsi lagi dan telah menunaikan tugas ujian yang dibebankan kepadanya, untuk melihat langsung hasil-hasil ujian di “lubang” itu. ya, penasihat itu adalah “lubang”, yang juga dinamakan kuburan.

Ar-Rafi’i Memanggil Kuburan
Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i menyeruh kuburan dengan berkata, “Wahai kuburan, engkau tidak henti-hentinya berkata kepada manusia, ‘Kemarilah.’ Semua jalan berakhir padamu. Semua orang melintas jalanmu. Semua orang kondisinya sama di sisimu. Mereka tidak pernah menguburkan raja yang tulangnya laksana emas di tempatmu, pahlawan yang ototnya seperti besi, walikota yang kulitnya bak sutra halus, menteri yang wajahnya bagai batu permata, orang kaya yang hatinya tak ubahnya seperti gudang harta, dan orang miskin yang keranjang sampah menempel di usus-ususnya.”

Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam Menangisi Ibu Beliau
Karena kuatnya kesan dan pengaruh nasihat kuburan, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menganjurkan kaum Muslimin menziarahinya, seperti terlihat di banyak hadits. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang berkata,

“Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam menziarahi kuburan ibu beliau, lalu menangis dan siapa saja yang disekitar beliau ikut menangis. Beliau bersabda, ‘Aku minta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampunan untuk ibuku, namun Dia tidak mengizinkanku. Aku pun minta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburannya, lalu Dia memberiku izin. Ziarahi kuburan, karena mengingatkan kepada akhirat’.” (Diriwayatkan Muslim).

Manusia lupa itu wajar. Ya, mereka lupa ending yang pasti terjadi pada mereka. Akibatnya, hati mereka keras membantu. Lalu, mereka tidak siap pergi ke akhirat dan tidak dapat mengambil manfaat dari nasihat yang didengar, akibat kekerasan hati mereka yang membuat mereka lupa tujuan asasi keberadaan mereka di dunia ini. Seorang penyair berkata,

“Manusia lalai dan kematian menyadarkan mereka
Mereka tidak sadar, hingga usia mereka habis
Mereka mengantar keluarga mereka ke kuburan
Dan melihat siapa saja yang dikubur
Lalu, kembali ke mimpi-mimpi kelalaian mereka
Sepertinya, mereka tidak pernah melihat sesuatu apa pun.”

Jadi, tujuan utama dianjurkannya ziarah kubur ialah ingat kematian, yang membuat orang ingat akhirat.

Orang-Orang yang Lari dari Kematian
Karena hati keras dan lalai, sebagian orang tidak bisa mendengar apa pun yang mengingatnya pada kematian, karena mengira mampu lolos dari kematian atau “membelokkan” arah kematian di perjalanannya, hingga tidak mengenai dirinya. Pemikiran kekanak-kanakan ini dimentahkan Allah Ta’ala dengan firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya itu sesungguhnya akan menemui kalian.” (Al-Jumu’ah: 8).

Musthafa Shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Barangsiapa lari dari sesuatu, ia tinggalkan sesuatu itu di belakangnya. Kecuali kuburan. Barangsiapa lari darinya, ia malah mendapati kuburan di depannya. Kematiaan selalu menanti tanpa pernah bosan dan Anda selalu maju kepadanya, tanpa mundur sedikit pun.”

Tanah yang Diam Seribu Bahasa
Jadi, menziarahi penasihat itu, kuburan, menguatkan hati dan menghilangkan kekerasan hati. Ketika Anda pergi ke masjid pada hari Jum’at, Anda mendengar satu penasihat (khatib). Jama’ah shalat membludak, namun penceramahannya satu orang. Hal ini tidak berlaku dikuburan. Semua kuburan berubah menjadi penasihat (penceramah) dan Anda mendengar nasihat mereka pada saat yang sama. Para pendengarnya sedikit, sedang penasihatnya banyak. Kondisi unik ini hanya terjadi di kuburan.
Musthafa shadiq Ar-Rafi’i berkata, “Kita buku kuburan dan meletakkan mayit yang mulia dan tidak lagi mengidap penyakit dunia. Dunia terhenti di kuburan. Bahkan, tanah yang dapat bicara berusaha memahami tanah yang diam. Dan, tanah pun tahu umur sepanjang apa pun ternyata pada hakikatnya pendek, kekuatan setangguh apa pun akhirnya melemah, tujuan seluas apa pun akhirnya sempit, dan seluruh benua ternyata akhirnya kecil seperti kuburan.”
Andai hati tidak keras dan manusia sibuk memanfaatkan seluruh sarana yang menunjang realisasi tujuan penciptaan mereka, tentu pada setiap kelahiran bayi, mereka ingat hari kelak mereka dimakamkan.
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Ayunan bayi tiada lain adalah liang lahad.”
Sebagian bayi yang baru lahir dibalut dengan secarik kain putih dan diletakkan di ayunan tanpa mampu bergerak, mayit juga dibalut dengan kain putih dan itulah pakaian terakhir yang ia kenakan di dunia, lalu berada di hamparan bumi, tanpa gerak hingga hari Kebangkitan.


PERBARUI IMAN ANDA

Akhi, aktivis Islam, perbarui iman Anda secara rutin. Rekonstruksi iman ini urgen bagi setiap orang Muslim secara umum dan aktivis Islam secara khusus. Sebab, kadang, karena sibuk mengerjakan tugas-tugas dakwah, atau mempelajari masalah-masalah dakwah, atau memikirkannya, atau mencurahkan segenap tenaga untuk aktivis Islam, atau aktivitas melawan musuh-musuh Islam dengan segala sarana yang disyariatkan Islam, itu membuat aktivis Islam tidak sempat mengurusi hatinya dan memberi perhatian penuh kepadanya. Padahal, orang Muslim berjalan kepada Allah Ta’ala dengan hatinya, bukan dengan orang tubuhnya. Kalaupun organ tubuh mengerjakan kebaikan, maka itu karena kebaikan hati dan semangatnya kepada kebaikan.
Jika aspek ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penanganan serius, maka aktivis Islam kehilangan ibadah-ibadah batin, misalnya ikhlas. Bahkan, bisa jadi, aktivis Islam tidak punya keikhlasan sejak awal iltizamnya. Ibadah-ibadah batin lainnya, seperti jujur, yakin, zuhud, tawakkal, takut, taubat, menyerahkan diri, dan cinta Allah Ta’ala, juga hilang dari dirinya. Beberapa saat kemudian, sang aktivis ingin kondisi hatinya pulih seperti kondisi semula saat ia awal bergabung ke kafilah dakwah. Itu semua akibat ia tidak memperlihatkan hatinya. Jika itu terus terjadi, bisa jadi, Anda melihat sang aktivis banyak membicarakan hal-hal yang tidak berguna, misalnya makan secara berlebihan, atau berinteraksi dengan orang lain bukan karena pertimbangan agama, atau banyak tidur, atau bermalas-malasan, atau tidak berusaha mengatur waktunya, atau menghabiskan waktunya padahal-hal haram atau makruh. Kalaupun waktunya digunakan pada hal-hal mubah, maka itu secara berlebihan dan tanpa memperhatikan aspek agama atau dunia. Ia tidak menggubris perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk merekonstruksi iman, tanpa melihat kualitas iman, amal, dan posisinya di gerakan dakwah. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Perbaruilah iman kalian.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ahmad).

Rasulullah Shalllallahu Alaihi wa Sallam sering bersumpah dengan kalimat,

“Tidak, demi Dzat yang membolak-balik hati.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Saya lihat ada kemerosotan pada sebagian aktivis dakwah, atau terjerumus ke dalam lautan syahwat dan syubhat. Kadang, hal ini betul-betul terjadi pada sebagian dari mereka. Penyebabnya tidak lain karena kurang memperhatikan aspek ini, memperbarui iman. Ini tanggung jawab bersama antara individu. Level qiyadah (pemimpin), dan gerakan dakwah secara umum.
Saya seringkali melihat beberapa aktivis mencapai jenjang tertentu di gerakan dakwah dan menghabiskan sebagian umurnya dengan manis bersama dakwah. Setelah itu, ia berbalik dan keluar dari barisan aktivis. Penyebabnya ialah karena ia tidak memperhatikan hatinya. Bagaimana ia berjalan, kehabisan bekal, dan tidak berbekal dengan bekal apa-apa lagi?
Bekal hatinya telah ia gunakan untuk mengarungi salah satu tahapan usianya dan habis di perjalanan. Akibatnya, ia tewas di tempat bahaya, yaitu kesesatan syubhat dan kehinaan syahwat. Beragam penyakit yang menyerang sebagian aktivis Islam di separoh perjalanan dakwah, misalnya cinta dunia, egois padahal dulunya itsar (lebih mementingkan orang lain atas kepentingan pribadi), rakus padahal sebelumnya zuhud dan wara’, bersikap kasar kepada kaum Mukminin padahal sebelumnya bersikap lembut kepada mereka, dekat dengan orang-orang dzalim padahal dulunya dekat dengan orang-orang beriman, ujub, sombong terhadap orang lain padahal sebelumnya rendah hati, congkak, dan menjadikan dirinya sosok penting padahal dulunya ikhlas; itu semua sebabnya karena hati tidak diberi porsi perhatian yang ideal dan iman tidak diperbarui individu, level qiyadah, dan gerakan dakwah itu sendiri. Semuanya bertanggung jawab dalam masalah ini.
Saya tertarik dengan penafsiran seorang syaikh tentang firman Allah Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.” (An-Nisa’: 136).

Di kajian, yang ia berikan kepada aktivis, saat didera cobaan, ia berkata, “Kok Al-Qur’an minta mereka beriman, padahal mereka sudah beriman? Bahkan, ayat berbunyi, ‘Hai orang-orang beriman, berimanlah.’ Apa makna iman yang dimintakan pada mereka?”
Syaikh itu berkata lagi, “Ayat di atas minta mereka selalu memperbaharui iman, karena iman perlu diperbaharui secara rutin.”
OOO

KEWAJIBAN BERBAKTI PADA ORANG TUA

Ada hakikat syar’i yang sudah diketahui seluruh ikhwah aktivis Islam tanpa kecuali, yaitu berbakti kepada kedua orang itu kewajiban agama paling penting dan durhaka kepada keduanya dosa besar. Mereka juga tahu wasiat yang disebutkan Al-Qur’an secara berulang-ulang dan mendorong mereka berbuat baik kepada kedua orang tua serta peringkat berbuat baik kepada kedua orang tua itu lebih tinggi dari peringkat perintah untul adil. Bahkan, Allah Ta’ala menyandingkan perintah berbuat baik kepada orang tua dengan perintah beribadah kepada-Nya, di firman-Nya,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kalian berbuat baik pada ibu bapak kalian dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’: 23).

Allah Ta’ala melarang seseorang berkata kepada salah seorang dari kedua orang tuanya, “Ah,” apalagi perkataan lebih dari itu.
Faktanya, masih ada sebagian aktivis yang belum lama beriltizam dengan Islam tidak menunaikan kewajiban ini, berbakti kepada orang tua, dengan baik. Mereka bukan saja tidak berbuat baik kepada orang tuanya. Lebih dari itu, mereka tidak adil terhadap keduanya, bahkan durhaka kepada keduanya. Kadang, ada aktivis Islam yang berkata kasar kepada ayahnya, atau menginggikan suara di atas suara ayahnya, atau tidak taat kepadanya dalam hal-hal wajib dan mubah, atau mengumpat ibunya, atau membentak dan mencelanya.
Khusus untuk mereka, saya katakan, sesungguhnya berbakti kepada kedua orang tua itu kewajiban agama, seperti halnya kewajiban berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar, jihad, dan shalat. Dan, durhaka kepada orang tua itu dosa besar dan tidak lebih kecil dosanya dari dosa zina, mencuri, dan dosa-dosa besar lainnya. Bisa jadi, durhaka kepada kedua orang tua lebih berat bobotnya daripada dosa-dosa besar. Akhi, kenapa Anda memilah-milah Islam? Anda terima sebagian ajarannya dan tolak sebagian lain? Padahal, Anda lantang mengecam orang-orang sekuler, dengan berkata keras kepada mereka,

“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian lain?” (Al-Baqarah: 85).

Kenapa Anda melarang sesuatu, lalu Anda sendiri mengerjakannya? Seorang penyair berkata,

“Anda jangan melarang salah satu akhlak, kemudian Anda mengerjakan kebalikannya Ini aib besar jika Anda lakukan.”

Ingatlah bahwa Islam memuliakan orang tua, hingga pada taraf membolehkan Anda membatalkan shalat sunnah, untuk menjawab panggilan ibu atu ayah Anda. Itu terjadi jika salah sati dari keduanya memanggil Anda, tapi Anda sedang shalat sunnah.
Anda harus ingat kisah Juraij,ahli ibadah Bani Israel, dengan ibunya, seperti dikisahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang bersabda,

“Juraij orang ahli ibadah. Ia membangun biara dan menetap di sana. Pada suatu hari, ibunya datang ke biaranya, tapi ia sedang shalat. Ibunya berkata, ‘Juraij!’ Juraij berkata, ‘Tuhanku, ibuku memanggilku, tapi aku sedang shalat?’ Juraij memilih meneruskan shalatnya, lalu ibunya pulang. Besoknya, ibu Juraij datang lagi, tapi lagi-lagi Juraij sedang shalat. Ibunya memanggil, ‘Juraij!’ Juraij berkata, ‘Tuhanku, ibuku memanggilku, tapi aku sedang shalat?’ Juraij memilih meneruskan shalatnya, karena itu, ibunya memilih pulang. Esoknya, ibu Juraij datang lagi, tapi Juraij sedang shalat seperti dua hari sebelumnya. Ibu Juraij memanggil, ‘Juraij!’ Juraij berkata, ‘Tuhanku, ibuku memanggilku, tapi aku sedang shalat?’ Juraij lebih senang meneruskan shalatnya. Karena kesal, ibu Juraij berkata, ‘Ya Allah, jangan matikan Juraij, sebelum ia melihat wajah pelacur.’

Suatu ketika, orang-orang Bani Israel ngobrol membahas Juraij dan ibadahnya. Saat itu, ada wanita cantik sekali dan tidak ada tandingannya ketika itu. Wanita itu berkata, ‘Jika kalian mau, aku sanggup menggoda Juraij.’ Lalu, wanita itu menemui Juraij, tapi Juraij tidak bergeming untuk melihatnya. Setelah itu, wanita itu pergi menemui penggembala yang biasa tinggal di biara Juraij, lalu menggodanya. Penggembala itu pun menggauli si wanita, lalu si wanita hamil. Usai melahirkan anaknya, wanita itu berkata, ‘Ini anak Juraij.’ Orang-orang Bani Israel mendatangi Juraij, menyuruhnya turun, menghancurkan biaranya, dan memukuli Juraij. Juraij berkata, ‘Apa-apaan ini?’ Orang-orang Bani Israel menjawab, ‘Engkau telah berzina dengan wanita pelacur ini, hingga ia melahirkan anak.’ Juraij berkata, ‘Mana si jabang bayi?’ Orang-orang Bani Israel mendatangkan si bayi kepada Juraij, lalu Juraij berkata, ‘Izinkan aku shalat.’ Juraij pun mengerjakan shalat. Usai shalat, Juraij datang ke tempat bayi dan menekan perutnya, dengan berkata, ‘Nak, siapa sebenarnya ayahmu?’ Si bayi menjawab, ‘Penggembala itu.’ Orang-orang Bani Israel langsung menciumi Juraij dan berkata, ‘Kami akan membangun biara dari emas untukmu.’ Juraij berkata, ‘Tidak usah. Bangunlah biara dari tanah seperti sebelumnya.’ Mereka pun mengerjakan perintah Juraij.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Juraij mengerjakan salah satu shalat sunnah dan menolak membatalkannya, untuk menjawab panggilan ibunya. Ia menduga meneruskan shalatnya itu lebih baik, daripada menjawab panggilan ibunya dan berbakti kepadanya. Hal itu dikerjakan Juraij, hingga tiga kali di hari yang berbeda. Pada ketiga kejadian itu, Juraij tidak menjawab panggilan ibunya. Karena itu, ibunya mendoakan keburukan untuknya. Allah Ta’ala mengabulkan doa ibunya, untuk mengajarinya pelajaran penting tentang urutan skala prioritas dalam agama Allah Ta’ala. Juga untuk mengajarinya bahwa berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada keduanya itu lebih baik dan mulia dalam timbangan seorang hamba di akhirat, daripada sekedar shalat sunnah. Karena urgensi besar ini yang perlu diketahui Juraij, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengajarkannya kepada umat beliau, sebagai bentuk yang ungkapan kasih sayang beliau kepada mereka, agar mereka, terutama orang-orang shalih, penegak agama, dan orang-orang selevel dengan Juraij, tidak melakukan kesalahan yang dulu dikerjakan Juraij. Sebab, hukuman bagi mereka lebih berat dari orang-orang yang levelnya lebih rendah dari level mereka.
Untuk ikhwah aktivis Islam yang tidak berbuat baik kepada orang tuanya juga saya katakan, ingatlah Uwais Al-Qarni, salah seorang generasi tabi’in yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada dengan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu,

“Aku datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama pasukan bantuan Yaman dari suku Murad dan Qarn. Tadinya, Uwais mengidap penyakit kusta, lalu Allah menyembuhkannya, kecuali kusta sebesar dirham. Ia punya ibu dan dan ia berbakti kepadanya. Jika ia bersumpah dengan nama Allah, maka Allah pasti mengabulkan sumpahnya. Jika engkau dapat minta dia memintakan ampunan untukmu, maka kerjakan.” (Diriwayatkan Muslim dan Abu Nu’aim).

Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu selalu menanyakan kabar Uwais Al-Qarni setiapkali pasukan bantuan Yaman datang, hingga akhirnya bertemu dengannya. Ringkas cerita, Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata kepada Uwais Al-Qarni, “Mintakan ampunan untukku.’ Uwais Al-Qarni pun memintakan ampunan untuk Umar bin Khaththab.
Akhi, aktivis Islam, coba renungkan derajat tinggi yang diperoleh Uwais Al-Qarni dan betapa tingginya derajat itu! Demi Allah, jika saya menjelaskan ketinggian derajat itu di banyak halaman, maka itu tidak cukup. Cukuplah menjadi catatan kebanggan bagi Uwais Al-Qarni bahwa ia dipuji Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan beliau mengisahkan kisahnya kepada salah seorang sahabat. Bahkan, beliau menyuruh Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, yang tidak diragukan pamornya, untuk meninta Uwais Al-Qrani memintakan ampunan baginya. Apakah Anda tidak tahu Umar bin Khaththab, kedudukannya di agama Allah Radhiyallahu Anhu dan sisi-Nya? Selain itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa andai Uwais Al-Qarni bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, Dia mengabulkan sumpahnya. Lebih dari itu lagi, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyuruh para sahabat untuk meminta Uwais Al-Qrani memintakan ampunan untuk mereka jika mereka bertemu dengannya. Di salah satu riwayat versi Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Siapa di antara kalian bertemu dengan Uwais, hendaklah ia minta Uwais memintakan ampunan untuknya.” (Diriwayatkan Muslim).

Di riwayat lain disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Suruh dia memintakan ampunan untuk kalian.”

Uwais Al-Qarni mendapatkan kedudukan dan tempat setinggi itu, karena ia berbakti kepada ibunya. Mahasuci Allah. Bagaimana seandainya ayah Uwais Al-Qrani masih hidup, lalu Uwais Al-Qarni berbakti kepada keduanya? Ini tentu pelajaran berharga bagi siapa saja yang masih punya hati, telinga, dan mata.
Saya serukan kepada seluruh ikhwah aktivis Islam bahwa orang-orang yang paling berhak menerima dakwah kalian ialah orang tua, keluarga, dan sanak kerabat kalian. Apakah kalian tidak membaca firman Allah Ta’ala,

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214).

Akhi, apakah Anda ingin masuk surga, sementara salah satu dari orang tua Anda masuk neraka? Apakah Anda mau disiksa pada Hari Kiamat, karena tidak mendakwahi orang tua, keluarga, dan sanak keluarga Anda, kepada kebenaran, petunjuk, dan cahaya Islam?
Saya juga menyerukan setiap aktivis Islam untuk bersikap lembut kepada seluruh manusia, lebih khusus kepada orang tua, keluarga dan sanak kerabatnya. Jika Anda melihat salah satu seorang dari orang tua Anda melakukan salah satu kemaksiatan, hendaklah Anda bersikap lembut saat mendakwahinya. Ingatlah, jika Anda melihayt kemungkaran pada orang tua Anda, maka menurut neraca syar’i, Anda hanya diperbolehkan menggunakan pilihan pertama dari tiga pilihan dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Yaitu merubah kemungkaran tersebut dengan perkataan dan itu pun dilakukan dengan lembut dan tidak kasar. Anda hanya diperbolehkan tidak menaati keduanya dalam kemaksiatan. Sedang tidak menaati keduanya sepanjang hidup, hanya karena keduanya tidak mengerjakan salah satu kewajiban agama, maka itu tidak diperbolehkan. Anda harus taat kepada kedua orang tua Anda dalam perkara mubah, sunnah, atau wajib, kendati misalnya keduanya pelaku maksiat atau kafir sekalipun. Anda harus berinteraksi dengan baik kepada keduanya, mengabdi, dan berinfak kepada keduanya jika mampu.
Anda jangan membuat kedua orang tua Anda merasa Anda remehkan atau Anda membuat keduanya merasa sebagai barang buangan di rumah, sedang Anda “raja” tunggal di dalamnya. Lalu, Anda memukul saudara-saudari Anda, karena sebab tertentu atau tanpa sebab, serta sombong kepada mereka, dengan dalih Anda ingin merubah kemungkaran di rumah!
Kadang, sikap Anda seperti itu malah menjadi kemungkaran yang lebih besar, daripada kemungkaran yang masih diperdebatkan ulama. Andai Anda mendakwahi mereka dengan benar dan berdasarkan hati nurani, serta Anda mengajarkan agama kepada mereka, maka urusannya menjadi lancar seperti Anda inginkan atau lebih lancar dari prediksi Anda sebelumnya. Kadang, Anda menemukan, ternyata ada salah satu keluarga Anda yang jauh lebih baik dan lebih dekat kepada Allah Ta’ala daripada Anda.
Menurut pengalaman panjang di kehidupan, saya dapati orang-orang yang durhaka kepada kedua orang tua itu tidak bertahan lama di atas kebenaran dan hanya “melangkah” beberapa langkah di salah satu gerakan dakwah. Tidak lama setelah itu, ia tergoda oleh dunia dan berjalan terlalu jauh dari dunia dakwah. Barangkali, penyebabnya, wallahu a’lam, bahwa siapa tidak punya kebaikan pada kedua orang tuanya, yang menjadi penyebab keberadaannya di dunia, maka ia tidak punya kebaikan di Islam dan gerakan dakwah. Dai dan level qiyadah di gerakan dakwah harus bertanya kepada kader-kader di bawah mereka tentang hubungan mereka dengan orang tua dan keluarga mereka, serta enjoy mengamalkan firman Allah Ta’ala,

“Hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’: 23)

Sebab, jika kemaksiatan seperti maksiat durhaka kepada orang tua itu tersebar luas maka meruntuhkan gerakan dakwah secara keseluruhan, menjadi pemicu Allah Ta’ala marah kepada mereka, dan turunnya kemurkaan-Nya. Kita berlindung kepada Allah Ta’ala dari itu semua.
Alhamdulillah, dalam kehidupan sehari-hari, kita perhatikan adanya hubungan akrab dan harmonis antara ikhwah aktivis Islam dan usrah (grup) mereka masing-masing. Setiap aktivis mencintai dan menghormati saudaranya sesama aktivis. Kita juga lihat sebagian besar usrah aktivis bisa beriltizam dengan Islam dan ajaran-ajarannya, dalam tempo waktu satu atau dua tahun. Bahkan, kira perhatikan di antara anggota usrah itu ada aktivis yang lebih kuat iltizam dan komitmennya dari aktivis lainnya. Ini kelebihan yang diberikan Allah Ta’ala kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Ingatlah, bukan saja aktivis Islam yang sanggup tegar di atas kebenaran. Di sini, saya ingin bersaksi dengan jujur bahwa ayah, ibu, dan istri aktivis Islam itu juga menanggung beban penderitaan di jalan Allah Ta'ala selama bertahun-tahun. Mereka menjadi teladan kesabaran, ketegaran, di atas kebenaran, danberdiri setiap hari selama berjam-jam di bawah terik sinar matahari yang membakar di musim panas dan terkena hujan di musim hujan. Mereka merasakan penderitaan dan kesulitan yang lebih berat dari yang dialami aktivis Islam. Mereka menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan sabar berpisah dengan anak-anak dan suami mereka. Mereka rela tidak makan enak, untuk mereka berikan kepada anak-anak mereka. Kadang, sebagian dari mereka tidur dalam keadaan lapar. Mereka sabar dan mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala dalam menjalani itu semua. Orang tua dan istri aktivis melakukan jihad agung, yang tidak kalah –atau malah lebih besar-dengan jihad anak-anak dan suami-suami mereka. Keteguhan dan kesabaran para orang tua dan istri aktivis berpengaruh kuat pada ketegaran anak-anak dan suami mereka di atas kebenaran dan menanggung penderitaan di jalan Allah Ta’ala.
OOO

BENTUK-BENTUK PENYESALAN PADA HARI KIAMAT

Dua Nikmat Berharga
Al-Bukhari meriwayatkan di Shahih-nya sabda Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam,

“Ada dua nikmat, di mana banyak orang mengalami kerugiaan karena keduanya. Yaitu kesehatan dan waktu luang.” (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Ibnu baththal berkata, “Makna hadits di atas ialah orang punya waktu luang jika ia berbadan sehat. Jika seseorang punya waktu luang dan badan sehat, hendaklah oa berusaha sebisa mungkin tidak rugi, dalam bentuk tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepadanya. Di antara bentuk syukur yang harus ia lakukan oalah mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Barangsiapa tidak mengerjakan hal ini, ia orang rugi.”
Ibnu Al-Jauzi berkata, “Adakalahnya orang itu sehat, tapi tidak punya waktu luang, sebab sibuk kerja. Juga adakalahnya seseorang punya waktu luang, tapi tidak sehat. Jika seseorang punya waktu luang dan berbadan sehat, tapi malas melakukan ketaatan kepada Allah, ia orang rugi. Dunia itu ladang akhirat dan di dalamnya terdapat bisnis yang keuntungannya terlihat di akhirat. Barangsiapa menggunakan kesehatan dan waktu luangnya, ia orang yang patut ditiru. Dan, barangsiapa menggunakan keduanya dalam maksiat kepada Allah, ia orang rugi.”

Bentuk Penyesalan Pertama: Kiamat Kecil
Kiamat kecil yang dialami manusia ialah kematian. Seseorang mulai menyesal ketika detik-detik akhir usianya dan menyakini nyawanya tidak lama lagi keluar dari tubuhnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan dia yakin sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Kepada Tuhanmula pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 28-29).

Saat itu, ia ingat ribuan jam yang tidak ia gunakan untuk taat kepada Allah Ta’ala dan ia berharap dikembalikan ke dunia untuk beramal shalih. Allah Ta’ala berfirman,

“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, ia berkata, ‘Tuhanku, kembalikan aku (Ke dunia), agar aku berbuat amal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan’.” (Al-Mukminun: 99).

Itulah impian pertama seseorang. Ia berharap diberi kesempatan kembali ke dunia untuk beramal shalih. Ia lupa dirinya sekarang bicara dengan Dzat Yang Mengetahui seluruh hal ghaib, mata yang berkhianat, dan apa yang dirahasiakan hati. Allah Ta’ala sudah tahu kebohongannya. Andai ia dikembalikan ke dunia, ia pasti bermaksiat lagi dan malas mengerjakan kebaikan. Karena itu, permintaannya dijawab dengan jawaban tegas yang memupus seluruh harapan dan pertanyaan tipuan yang digunakan untuk lari dari siksa kubur. Allah Ta’ala berfirman,

“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu perkataan yang diucapkan saja dan di depan mereka ada dinding sampai hati mereka dibangkitkan.” (Al-Mukminun: 100)

Bentuk Penyesalan Kedua: Gigit Tangan
Penyesalan sepeti ini terjadi ketika seseorang akhirat melihat sahabat karibnya menyelamatkan dirinya dan tidak berdaya membelanya di sisi Allah Ta’ala. Saat-saat kongkow-kongkow, canda tawa, begadang, pesta pora di meja judi dan minuman keras; itu semuanya tidak dapat menyelamatkannya dari kondisi yang ia hadapi sekarang. Ia lihat penghuni neraka yang paling ringan siksanya ialah orang yang dua batu diletakkan di atas tapak kakinya, lalu otaknya mendidih. Di riwayatkan lain disebutkan, penghuni neraka tersebut punya dua sandal dan dua tali sandal dari neraka, lalu otak mendidih, seperti periuk mendidih. Penghuni neraka itu mengira tidak ada orang yang lebih berat siksanya daripada dirinya. Padahal, ia penghuni neraka yang paling ringan siksanya. (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Saat itulah,

“Orang dzalim mengigit dua tangannya sambil berkata, ‘Kecelakaan besar bagiku. Kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan teman akrab. Sesungguhnya ia telah menyesatkanku dari Al Qur’an ketika Al-Qur’an datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Kahfi: 49).

Ia lupa atau pura-pura lupa kalau ia diikuti dua malaikat yang mencatat kemaksiatan dan kebaikan seberat atom pun. Ia menyesal dan berharap tidak diberi buku catatan amal perbuatannya dan tidak tahu hari perhitungan. Ia berharap mati saja daripada melihat siksa yang sudah menanti. Ia pun ingat, ternyata harta, jabatan, dan kekuasaan, yang ia kira bermanfaat baginya di akhirat hingga membuat buta tidak melihat kebenaran, pembela-pembelanya, hanyut dalam kesesatan dan kemaksiatan itu sama sekali tidak berguna baginya sekarang, ia tahu betul yang bisa menyelamatkannya pada saat-saat seperti ini hanyalah amal shalih dan rahmat Allaah Ta’ala. Allah mengisahkan kisah orang seperti itu,

“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, ia berkata, ‘Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Kekuasaanku telah hilang dariku’.” (Al-Haqqah: 25-29).

Bahkan, ia berharap menjadi tanah yang diinjak kaki dan tidak disiksa dengan siksa dengan siksa akhirat. Ia berkata,

“Alangkah baiknya sekiranya aku dulu tanah.” (An-Naba’: 40)

Di dunia, ia dulu ingin hidup selama mungkin. Sekarang, di akhirat, kita lihat dia ingin mati saja.
Bentuk-bentuk penyesalan hari itu beragam. Setiap kali pelaku maksiat melihat salah satu bentuk siksa, ia ingat waktu yang dulu ia sia-siakan, tidak menggunakannya untuk taat kepada Allah Ta’ala, dan merealisir tujuan penciptaan dirinya, yaitu beribadah kepada-Nya.

Bentuk Penyesalan Keempat: Ketika Neraka Didatangkan
Rasulullah Shallallahu Alihis wa Sallam bersabda,

“Ketika itu, neraka, yang punya tujuh puluh ribu penahan, didatangkan. Di setiap penahan ada tujuh puluh ribu malaikat yang menariknya.” (Diriwayatkan Muslim)

Ketika pelaku maksiat melihat neraka sebesar seperti itu, ditarik 4.900.000.000 malaikat, lidah besar menjulur panjang, leher yang punya mata, seperti disebutkan di hadits, yang diriwayatkan At-Tirmidzi,

“Pada hari Kiamat, leher keluar dari neraka. Leher itu punya dua mata yang bisa melihat, dua telinga yang dapat mendengar, dan lidah yang mampu bicara. Lidah leher itu berkata, ‘Aku mewakili tiga jenis manusia: orang yang menjadikan Tuhan selain Allah, orang sombong sekaligus bandel, dan para penggambar’.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

Ia dengar kemarahan dan hembusan nafas neraka saat berteriak dengan teriakan menakutkan, “Apakah masih ada tambahan orang untukku? Apakah masih ada tambahan orang untukku?” ketika itulah, pelaku maksiat ingat saat-saat maksiat, malas, menunda amal shalih, menipu Allah Ta’ala dengan taubat palsunya, dan waktu-waktu lain yang hilang sia-sia. Tapi, nostalgia semuanya itu tidak ada gunanya. Allah Ta’ala berfirman,

“Tapi, tidak berguna lagi mengingat itu baginya.” (Al-Fajr: 23).

Ia berkata dengan penuh sesal,

“Alangkah baik kiranya aku dulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (Al-Fajr: 24).

Sayyid Quthb Rahimahullah berkata, “Kesempatan telah berlalu. Allah Ta’ala berfirman, ‘Tapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya.’ Peringatan sudah berlalu dan tidak berguna lagi di sini, akhirat, bagi siapa pun. Ucapan orang kafir itu refleksi kesedihan atas hilangnya kesempatan di negeri amal, dunia. Ketika fakta ini terlihat, ‘Dia mengatakan, ‘Alangkah baik kiranya aku dulu mengerjakan )amal shalih) untuk hidupku ini.’ Terlihat ada kesedihan mendalam di balik harapan dan itulah kondisi paling menyakitkan yang dirasakan seseorang di akhirat.”
Itulah bentuk penyesalan paling mengenaskan yang dialami manusia dan mereka tidak punya harapan untuk bisa memperbaiki kesalahan yang telah terjadi.

Bentuk Penyesalan kelima: Ketika Berdiri di Neraka
Allah Ta’ala berfirman,

“Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata, ‘Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman’.” (Al-An’am: 27)

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mengungkap kondisi orang-orang kafir saat mereka berdiri di neraka pada Hari Kiamat, menyaksikan belenggu dan rantai di dalamnya, serta melihat dengan mata kepala mereka sendiri hal-hal dahsyat. Saat itulah, mereka berkata, ‘Duhai, betapa celakanya kita’.”
Sungguh aneh, orang-orang kafir berkata saat berharap, “Dan kami menjadi orng-orang beriman.” Padahal, mereka dulu memerangi para dai kejalan Allah Ta’ala, kalimat tauhid, dan melecehkan siapa saja mengajak kepadanya. Kenapa kini, di akhirat, mereka berharap ingin menjadi orang-orang beriman? Kenapa itu baru terlontar sekarang dan tidak di dunia dulu? Itulah kemunafikan yang tetap menempel pada mereka, kendati mereka berdiri didepan neraka menyaksikan kedasyatannya. Mereka kira jiwa mereka tidak diketahui Allah a’ala dan dapat ngerjain Dia. Karena itu, mereka membuat trik dengan berbohong dan seluruh argumentasi kuat, agar selamat daru suksa yang pasti ini. Ini sungguh aneh penyesalan yang serat dengan penipuan atau penipuan yang penuh dengan penyesalan. Kedua hal itu menjijikkan.

Bentuk Penyesalan Keenam: Setelah Dilempar ke Neraka
Allah Ta’ala berfirman,



“Pada hari ketika muka mereka ditolak-balik dineraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya, andai kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu meraka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpahkan kami kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan besar.” (Al-Ahzab: 66-68)

Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Maksudnya, mereka diseret ke neraka dengan kepala terbalik dan wajah mereka dibola-balik di Neraka Jahanam. Mereka berharap andai mereka dikembalikan kedunia, mereka akan bersama orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul.”
Sekarang mereka baru tahu, ternyata jalan yang dulu merekah tempuh itu jalan salah, sebab mereka mengikuti para pemimpin dan tokoh-tokoh mereka, yang berjalan di jalan setan. Sekarang, mereka berani mengutuk pemimpin-pemimpin mereka dan bicara kepada mereka dengan bahasa lantang, setelah sebelumnya di dunia mereka hidup sebagai pengecut, hina, tidak berani mengatakan kebenaran, dan tidak punya nyali menolak kemungkaran. Setelah mereka dilempar ke neraka dan merasakan siksanya, perasaan mereka yang tadinya membeku itu hidup kembali dan mereka menyesal kenapa tidak mengikuti jalan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Tapi, waktu itu sudah tidak ada lagi.


AKTIFIS ISLAM

AKTIVIS ISLAM ITU BUKAN AKTIVIS TEMPORER

Akhi, aktivis Islam, aktivitas Islam itu bukan aktivis yang bisa Anda kerjakan di sebagian waktu, lalu boleh Anda tinggalkan pada waktu lain. Sama sekali tidak. Aktivitas Islam dan masuknya Anda ke dalam Islam ini lebih dari itu. Islam bukan sembarang aktivis, seperti misalnya aktivitas budaya, atau olahraga, atau kepanduan, yang biasa Anda geluti saat kuliah, lalu Anda tinggalkan setelah lulus. Atau aktivitas yang Anda jalani ketika Anda membujang, lalu Anda tinggalkan setelah menikah. Atau aktivis yang Anda beri waktu sebelum Anda menduduki jabatan tertentu, lalu Anda tinggalkan jika Anda punya jabatan tertentu, atau sukses membuka klinik, atau apotek, atau kantor konsultan, atau sibuk studi S1 atau S2. Tidak. Aktivitas Islam sama sekali tidak seperti itu.
Aktivitas Islam dan masuknya Anda ke dalamnya adalah penyembahan Anda kepada Allah Ta’ala. Dan, orang Muslim tidak berhenti dari aktivitas Islam, karena merupakan tuntutan penyembahannya kepada Allah Ta’ala, hingga detik akhir kehidupannya. Akhi, apakah Anda tidak membaca firman Allah Ta’ala,

“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini.” (Al-Hijr: 11).

Maksudnya, sembahlah Allah Ta’ala hingga kematian datang kepadamu. Al-Qur’an tidak mengatakan, “Sembahlah Allah hingga Anda lulus dari universitas, atau hingga Anda punya jabatan tertentu, atau hingga Anda menikah, atau hingga Anda sukses membuka klinik, atau kantor konsultan.”
Generasi salafush shalih memahami dengan baik ayat di atas. Kita lihat Ammar bin Yasir Radhiyallahu Anhu masih ikut berperang di jalan Allah Ta’ala, saat berusia sembilan puluh tahun. Saya katakan berperang, bukan sekedar berdakwah, atau mengajar, atau mengerjakan amar ma’ruf nahi munkar. Di samping mengerjakan aktivitas itu semua, Ammar bin Yasir berperang di jalan Allah Ta’ala, saat ia berada di usia, di mana tulang-tulang sudah lemah, tubuh loyo, rambut beruban, dan kekuatan menurun.
Abu Sufyan bin Harb Radhiyallahu Anhu memotivasi tentara untuk berperang, padahal si berusia tujuh puluh tahun. Begitu juga Al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy. Keduanya berperang di Perang Uhud, kendati berusia lanjut dan diberi dispensi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau menempatkan keduanya di barisan belakang bersama kaum wanita. Kenapa kita pergi terlalu jauh? Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melakoni tujuh puluh empat tahun. Bahkan, beliau berumur enam puluh tahun saat hadir di Perang Tabuk, yang merupakan perang paling sulit bagi kaum Muslimin, dan memimpin kaum Muslimin di dalamnya.
Kenapa sekarang kita lihat banyak aktivis Islam tidak lagi menjadi aktivis Islam setelah lulus kuliah, atau menikah, atau sibuk bisnis, atau punya jabatan?
Mereka harus tahu bahwa permasalahan agama tidak main-main dan bisa disepelekan seperti itu. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kalian menganggapnya ringan saja. Padahal, dia pada sisi Allah itu besar.” (An-Nuur: 15).

Mana baiat (ikrar), yang dulu Anda berikan di depan Allah Ta’ala, bukan hanya di depan manusia? Allah Ta’ala berfirman,

“Dan perjanjian dengan Allah itu diminta pertanggung jawabnya.” (Al-Ahzab:15).

Mana slogan, yang dulu sering Anda gembor-gemborkan,

“Kami bangkit di jalan Allah
Kami ingin meninggikan panji
Kami beramal bukan untuk partai
Tapi, kami siap menjadi tumbal bagi agama ini
Silakan kejayaan agama muncul kembali lagi
Atau darah kami tumpah karenanya.”

Akibat melanggar janji itu amat berat. Terutama, bagi orang yang tadinya tahu kebenaran, lalu berpaling darinya dan orang yang telah merasakan manisnya iman lalu terjerumus ke dalam kebatilan. Melanggar janji dengan Allah Ta’ala itu dosa paling besar kepada-Nya dan kaum Mukminin. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka barangsiapa melanggar janjinya, niscaya akibat ia melanggar janji itu menimpa dirinya sendiri.” (Al-Fath: 10)

Orang yang dirayu jiwanya yang menyuruh kepada keburukan dan digoda setan untuk ingkar janji harus merenungkan firman Allah Ta’ala,

“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, kami pasti bersedekah dan kami pasti termasuk orang-orang shalih.’ Maka setelah Allah memberi mereka sebagian karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). “ (At-Taubah: 75-76).

Ia juga harus merenungkan dengan baik hukuman adil, seperti disebutkan di ayat berikut,

“Maka Allah menimbulkan kemunafikan di hati mereka sampai waktu mereka menemui Allah, karena mereka memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (At-Taubah: 77).

Aktivitas Islam itu agenda utama. Tragisnya, sebagian orang berhati sakit yang bergabung dengan ikhwah aktivis Islam di aktivitas Islam, di kampus, itu memandang aktivis Islam seperti proyek bisnis. Karenanya, proyek bisnis tersebut berakhir secara otomatis, bersamaan dengan selesainya waktu kuliah. Atau aktivitas Islam dianggap sebatas persahabatan di kampus, lalu bubar dengan berakhirnya masa studi.
Orang-orang seperti itu saya katakan orang-orang berhati sakit. Sebab, biasanya, penyakit muncul dari orang yang imannya lemah, hatinya sakit, tekadnya pas-pasan, dan makna iman tidak menancap kuat di hati. Umumnya, aib itu ada di hati, bukan di akal. Aib terjadi sebab iman tidak beres, bukan karena minimnya ilmu. Juga karena pengaruh syahwat, bukan karena ketidakjelaskan. Juga karena cinta dunia, bukan karena minimnya kesadaran. Siapa ingin melakukan terapi, ia harus pergi kepada orang-orang yang berhati bersih, guna menghilangkan kotorannya dan mengobati penyakitnya. Sayangnya, dokter itu tidak banyak pada zaman sekarang. Yang saya maksud dengan dokter di sini ialah dokter hati. Sedang dokter tubuh, maka segudang.
Sungguh, orang yang keluar dari kebenaran setelah mengetahuinya itu lebih mementingkan kesenangan sesaat dengan mengorbankan kesedihan sepanjang tahun, menceburkan diri ke sumur maksiat, dan berpaling dari tujuan besar menuju tujuan picisan. Akibatnya, ia hidup di penjara setan, terombang-ambing di lembah kebingungan, dan terbelenggu di penjara hawa nafsu. Seorang penyair berkata,

“Ia menjadi seperti burung elang yang bulunya tercabut Ia merasa rugi setiap melihat burung lain terbang.”

FIGUR-FIGUR YANG BEROBSESI KEPADA AKHIRAT

Figur-Figur dari Generasi Sahabat

Generasi sahabat generasi istimewa dan tidak ada generasi sesudahnya yang selevel dengan mereka. Para sahabat menyatu dengan akhirat, hingga seperti sedang, hidup di dalamnya dan obsesi kepadanya begitu menguasai diri mereka. Seorang dari mereka minta izin kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk mengebiri dirinya, agar bisa beribadah dengan lebih serius. Tapi, Rasulullahu Shallallahu Alahi wa Sallam melarang tindakan seperti itu, sebab bertentangan dengan petunjuk beliau dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Islam pada manusia. Jika seorang dari mereka berceramah usai shalat-shalat wajib, ia mendorong mereka cinta akhirat, lalu mereka merasa dekat dengannya. Jika mereka mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bercerita kepada mereka tentang surga dan kenikmatannya, maka salah seorang dari mereka rindu mati syahid saat itu juga, agar dapat segera merasakan kenikmatan-kenikmatan surga. Contoh-contoh dari mereka sebagai berikut:

1. Umair bin Al-Hammam
Umair bin Al-Hammam mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam memberi iming-iming surga kepada para sahabat di Perang Badar, lalu ia membuang beberapa biji kurma dari kedua tangannya sambil berkata, “Ah, aku bisa masuk surga jika dibunuh orang-orang kafir itu.”
Usai berkata seperti itu, Umair bin Al-Hammam bertempur, hingga gugur sebagai syahid.

2. Anas bin An-Nadhr
Anas bin An-Nadhr menyatu dengan Akhirat, hingga merasa mencium aroma surga. Ia berkata kepada Anas bin Muadz saat bertemu dengannya di Perang Uhud, “Hai Sa’ad, demi Tuhannya Anas, aku mencium aroma surga dari balik Gunung Uhud.”

3. Ja’far Abu Thalib
Seorang saksi mata dari Bani Murrah bin Auf, yang ikut bertempur di Perang Mu’tah menuturkan, “Demi Allah, aku lihat Ja’far bin Abu Thalib turun dari kudanya berwarna blonde, lalu menyembelihnya. Setelah itu, ia bertempur melawan musuh, hingga gugur sebagai syahid. Sebelum syahid, ia berkata,

‘Sungguh dekat surga itu
Indah dan airnya dingin
Sungguh, siksa bagi orang-orang Romawi kian dekat
Mereka kafir dan nasab mereka tidak jelas’.”

4. Abdullah bin Mas’ud
Seperti para sahabat lainnya, Abdullah bin Masud Radhiyallahu Anhu mengaitkan apa yang ia lihat dengan akhirat. Diriwayatkan, ia berjalan melewati orang-orang yang sedang meniup alat peniup angin, lalu ia tidak sadarkan diri.
Dikisahkan lainnya, Abdullah bin Mas’ud berjalan melewati pandai besi dan melihat satu batang besi yang menganga, lalu ia menangis.”

5. Hammamah bin Abu Hammamah
Dikisahkan, Hammama bin Abu Hammamah menginap pada suatu malam di rumah seorang tabi’in, Haram bin Hayyan Al-Abdi. Hammamah bin Abu Hammamah dilihat Haram bin Hayyam Al-Abdi menangis semalam suntuk. Haram bin Hayyam Al-Abdi berkata kepada Hammamah bin Abu Hammamah, “Kenapa engkau menangis?
Hammamah bin Abu Hammamah menjawab, “Aku ingat suatu malam, di mana kubur menjadi berserahkan pada pagi harinya.”
Pada malam kedua, Hammamah bin Abu Hammamah menginap lagi di rumah Haram bin Hayyam Al-Abdi dan menangis semalam suntuk. Haram bin Hayyam Al-Abdi berkata kepada Hammamah bin Abu Hammamah, “Kenapa menangis?”
Hammamah bin Abu Hammamah menjawab, “Aku ingat suatu malam, di mana bintang-bintang berguguran pada esok paginya.”
Bentuk lain keterikatan Hammamah bin Abu Hammamah dengan akhirat ialah ia berkata menyerbu Ashfahan pada zaman Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, “Ya Allah, Hammamah mengaku ingin segera bertemu dengan-Mu. Ya Allah, jika ia benar seperti itu, kuatkan keinginan karena kejujurannya. Jika bohong, buat dia berkeinginan seperti itu, kendati ia sebenarnya tidak menghendakinya. Ya Allah, jangan pulangkan Hammamah dari perjalannya.” Ia meninggal dunia di Ashfahan.
Dikisahkan, Hammamah bin Abu Hammamah dan rekan sejawatnya, Haram bin Hayyam, bertemu pada suatu siang, lalu keduanya pergi ke pasar parfum dan berdoa minta surga kepada Allah. Lalu, keduanya pergi ke tukang besi dan minta perlindungan dari neraka. Setelah itu, keduanya pulang ke rumahnya masing-masing.

Generasi Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in
Itulah sebagian figur generasi sahabat yang saya tulis, demi menghormati mereka. Setelah mereka, datanglah generasi tabi’in dengan generasi tabi’ tabi’in, yang memberi contoh figur-figur hebat bagi umat ini, setelah para sahabat. Di antara mereka adalah sebagai berikut:

1. Al-Hasan Al-Bashri
Al-Hasan Al-Bashri murid generasi sahabat dan seluruh hidupnya menyatu dengan akhirat. Shalih bin Hassan berkata, “Suatu ketika, Al-Hasan Al-Bashri berpuasa, lalu kami datang kepadanya dengan membawa makanan saat maghrib tiba.” Ketika Shalih bin Hassan berada di dekat Al-Hasan Al-Bashri, Shalih bin Hassan berkata, “Aku bacakan ayat ini kepada Al-Hasan Al-Bashri,

‘Sesungguhnya pada kami ada belenggu-belenggu berat dan neraka menyala-nyala. Dan makanan yang menyumbat dari kerongkongan dan adzab pedih.’ (Al-Muzammil: 12-13)

Al-Hasan Al-Bashri tidak menjamah makanan yang dibawah untuknya. Ia berkata, ‘bawa ke sana makanan ini.’ Kami pun mengambil makanan itu. ia meneruskan puasanya sampai esok paginya. Ketika ia ingin berbuka puasa, ia ingat ayat tadi, lalu berbuat seperti kemarin.
Pada hari ketiga, anaknya pergi kepada Tsabit Al-Bunani, Yahya Al-Buka’, dan beberapa rekan Al-Hasan Al-Bashri, lalu berkata, ‘Tolong temui ayahku, sebab ia tidak makan makanan sedikit pun sejak tiga hari yang lalu. Setiapkali aku menghidangkan makanan untuk buka puasa, ia ingat ayat ini,

‘Sesungguhnya pada kami ada belenggu-belenggu berat dan neraka menyala-nyala. Dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan adzab pedih.’ (Al-Muzammil: 12-13)

Lalu, teman-teman Al-Hasan Al-Bashri datang menemui Al-Hasan Al-Bashri dan lama berada di tempatnya, hingga akhirnya menyuapinya dengan seteguk tepung.”
Al-Hasan Al-Bashri sengaja tidak makan bukan karena sok zuhud, namun karena kuatnya obsesi kepada akhirat yang ia miliki. Ingat kedahsyatan akhirat membuatnya tidak punya selera makan.

2. Sufyan Ats-Tsauri
Tentang Sufyan Ats-Tsauri, Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ia syaikhul Islam. Imam para hafidz, dan tokoh ulama aktivis pada zamannya.”
Ia berbicara seperti pernah melihat langsung karena begitu kuat lengketnya dengan akhirat dan dominasi obsesi kepada akhirat pada dirinya.
Ibnu Mahdi berkata, “Jika kami berdiri berada dekat Sufyan Ats-Tsauri, ia seperti berdiri untuk menghadapi hari hisab.”
Salah seorang pengikutnya, orang zuhud Yusuf bin Asbath, berkata tentang kelengketan Sufyan Ats-Tsauri dengan akhirat, “Setelah shalat Isya’, Sufyan Ats-Tsauri berkata kepadaku, “Tolong ambilkan baskom untukku.” Lalu, ia mengambiolnya dengan tangan kananya dan meletakkan tangan kirinya di atas pipinya. Setelah itu, aku tidur dan baru bangun ketika fajar terbit. Aku lihat baskom masih ada di tangan Sufyan Ats-Tsauri dan tangan kirinya di atas pipinya. Aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdullah, fajar telah terbit.’ Ia berkata, ‘Sejak menerima baskom tadi aku memikirkan akhirat hingga detik ini.”
Para pengikutnya tidak hanya belajar hadits padanya. Mereka juga menirunya di semua hal kecil hidupnya siang malam, karena tahu Sufyan Ats-Tsauri tidak suka amal perbuatannya dipublikasikan. Terutama aktivitas malamnya saat ia bermunajat kepada Allah Ta’ala. Salah seorang muridnya pura-pura tidur untuk mengenalinya lebih dekat, agar bisa menceritakan apa yang ia lihat pada Sufyan Ats-Tsauri kepada orang-orang yang ingin memegang panji ini dan berjalan di atas jalan orang-orang yang gberobsesi kepada akhirat. Abdurrahman bin Mahdi berkata, “Aku tidak pernah bergaul dengan orang yang lebih perasa dari Sufyan Ats-Tsauri. Aku pantau dia dari satu malam ke malam lain. Ternyata, ia hanya tidur di permulaan malam, lalu bangun dalam keadaan cemas dan gemetar, sambil berkata, ‘Neraka, neraka. Ingat neraka membuatku tidak bisa tidur dan lupa syahwat.’ Setelah itu, ia berwudhu dan berdo’a, ‘Ya Allah, Engkau tahu segala kebutuhanku dan aku hanya memintamu membebaskanku dari neraka. Tuhanku, kecemasan nikimat yang Engkau berikan kepadaku. Tuhanku, andai aku punya alasan kuat untuk mengisolir dari diri manusia, aku tidak bergaul dengan mereka sekejap mata pun.’ Setelah itu, ia shalat dan menangis, hingga tidak bisa membaca Al-Qur’an dan aku tidak dapat mendengar bacaannya, karena tangisnya menjadi-jadi. Aku tidak sanggup melihatnya, karena malu dan segan kepadanya.”

3. Manshur bin Zadzan
Menurut Ibnu Hajar, Manshur bin Zadzan orang terpercaya, tegar, dan ahli ibadah. Seorang syaikh dari wasith bernama Abu Said, tetangga Manshur bin Zadzan, berkata, “Pada suatu hari, aku lihat Manshur bin Zadzan wudhu. Usai wudhu, kedua matanya mengucurkan air mata. Ia menangis terus, hingga suaranya semakin keras. Aku berkata kepadanya, ‘Ada apa denganmu, semoga Allah merahmatimu?’ Manshur bin Zadzan berkata, ‘Adakah sesuatu yang lebih besar dari urusanku? Aku ingin berdiri di depan Dzat yang tidak tidur dan mengantuk. Tapi, aku khawatir Dia Memalingkan muka dariku.’ Demi Allah, aku menangis karena perkataannya itu.”

4. Rabi’ah Asy-Syamiyah
Ia bukan Rabi’ah al-Adawiyah, wanita ahli ibadah yang tersohor itu, dan lebih “kecil” darinya. Ia istri orang ahli ibadah dan orang zuhud, Ahmad bin Abu Al-Hawari. Tentang Ahmad bib Abu Hawari, Yahya bin Muin berkata, “Aku pikir orang-orang Syam diberi hujan oleh Allah sebab orang seperti Ahmad bin Abu Hawari.”
Wanita ahli ibadah dan lengket dengan akhirat ini, Rabi’ah Asy-Syamiyah, berkata, “Setiapkali mendengar adzan, aku ingat penyeru Hari Kiamat. Setiapkali melihat salju, aku lihat buku-buku catatan amal perbuatan berterbangan. Dan, setiapkali melihat belalang, aku ingat hari pengumpulan manusia di Padang Mahsyar.”
Begitulah, generasi sahabat terangkai dengan generasi tabi’in dan tabi’ tabi’in, untuk membentuk sebuah “serial” yang tidak henti-hentinya menyuplai figur-figur yang berobsesi kepada akhirat, hingga akhirat tetap menyala di hati kaum Mukmin.